Tuesday, November 7, 2017

Dhammacakkhapavatana Sutta

Ekaṃ samayaṃ bhagavā bārāṇasiyaṃ viharati isipatane migadāye. Tatra kho bhagavā pañcavaggiye bhikkhū āmantesi:
“Dveme, bhikkhave, antā pabbajitena na sevitabbā. Katame dve? Yo cāyaṃ kāmesu kāma­su­khal­li­kānu­yogo hīno gammo pothujjaniko anariyo anatthasaṃhito, yo cāyaṃ atta­kila­mathā­nuyogo dukkho anariyo anatthasaṃhito. Ete kho, bhikkhave, ubho ante anupagamma majjhimā paṭipadā tathāgatena abhisambuddhā cakkhukaraṇī ñāṇakaraṇī upasamāya abhiññāya sambodhāya nibbānāya saṃvattati.

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Kelompok Lima Bhikkhu sebagai berikut:
“Para bhikkhu, dua ekstrim ini tidak boleh diikuti oleh seorang yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah dua ini? Mengejar kebahagiaan indria dalam kenikmatan indria, yang rendah, kasar, cara-cara kaum duniawi, tidak mulia, tidak bermanfaat; dan mengejar penyiksaan diri, yang menyakitkan, tidak mulia, tidak bermanfaat. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata telah membangkitkan jalan tengah, yang memunculkan penglihatan, yang memunculkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

Dhammacakkhapavatana sutta atau khotbah pemutaran roda dhamma pertama kalinya dibabarkan di Taman Rusa Isipatana di bulan Asalha. Pembabaran Dhammacakkhapavatana sutta biasa diperingati sebagai hari raya Asadha. Dhammacakkhapavatana sutta dibabarkan kepada 5 orang pertapa yaitu: Asaji, Vappa, Bhadiya, Mahanama, dan Kondanna. Pada khotbah ini sang Buddha membabarkan tentang 2 jalan ekstrim yang tidak boleh diikuti oleh orang yang telah meninggalkan keduniawian yaitu:
1.      Memuaskan nafsu indrawi
2.      Menyiksa diri yang berlebihan
Sang Buddha telah menemukan jalan tengah yang bisa membawa kita menuju pencerahan tertinggi yaitu Nibbana. Kehidupan kita ini bagaikan senar kecapi dan latihan yang kita jalankan sebagai tarikan pada senar kecapi. Bagaikan senar kecapi yang ditarik terlalu pelan (selalu memuaskan nafsu indrawinya) maka senar tersebut tidak akan menghasilkan suara,tetapi jika senar tersebut ditarik terlalu kencang maka senar tersebut akan putus dan tidak akan bisa menghasilkan suara,kita harus bisa menyesuaikan tarikan tersebut agar bisa menghasilkan suara yang indah.

Katamā ca sā, bhikkhave, majjhimā paṭipadā tathāgatena abhisambuddhā cakkhukaraṇī ñāṇakaraṇī upasamāya abhiññāya sambodhāya nibbānāya saṃvattati? Ayameva ariyo aṭṭhaṅgiko maggo, seyyathidaṃ—sammādiṭṭhi sammāsaṅkappo sammāvācā sammākammanto sammāājīvo sammāvāyāmo sammāsati sammāsamādhi. Ayaṃ kho sā, bhikkhave, majjhimā paṭipadā tathāgatena 
abhisambuddhā cakkhukaraṇī ñāṇakaraṇī upasamāya abhiññāya sambodhāya nibbānāya saṃvattati.

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan tengah yang telah dibangkitkan oleh Sang Tathāgata itu, yang memunculkan penglihatan … yang menuntun menuju Nibbāna? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ini, para bhikkhu, adalah jalan tengah yang telah dibangkitkan oleh Sang Tathāgata itu, yang memunculkan penglihatan, yang memunculkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

Sang Buddha juga menjelaskan tentang jalan tengah yang telah ditemukannya yang bisa menuntun ke Nibbana. Apakah jalan yang bisa membawa ke Nibbana? Jalan tersebut adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu:
1.      Pandagan Benar
2.      Pikiran Benar
3.      Ucapan Benar
4.      Perbuatan Benar
5.      Penghidupan Benar
6.      Daya Upaya Benar
7.      Perhatian Benar
8.      Konsentrasi Benar
8 Jalan itulah yang bisa membawa semua mahkluk menuju Nibbana apabila sudah dipahami dan dipraktekan.

Idaṃ kho pana, bhikkhave, dukkhaṃ ariyasaccaṃ—jātipi dukkhā, jarāpi dukkhā, byādhipi dukkho, maraṇampi dukkhaṃ, appiyehi sampayogo dukkho, piyehi vippayogo dukkho, yampicchaṃ na labhati tampi dukkhaṃ—saṃkhittena pañcu­pādā­nak­khan­dhā dukkhā. Idaṃ kho pana, bhikkhave, duk­kha­sa­muda­yaṃ ariyasaccaṃ—yāyaṃ taṇhā ponobbhavikānandi­rāga­saha­gatā tatra­tat­rā­bhinan­dinī, seyyathidaṃ—kāmataṇhā, bhavataṇhā, vibhavataṇhā. Idaṃ kho pana, bhikkhave, dukkhanirodhaṃ ariyasaccaṃ—yo tassāyeva taṇhāya asesa­virāga­nirodho cāgo paṭinissaggo mutti anālayo. Idaṃ kho pana, bhikkhave, duk­kha­nirodha­gāminī paṭipadā ariyasaccaṃ— ayameva ariyo aṭṭhaṅgiko maggo, seyyathidaṃ—sammādiṭṭhi … pe … sammāsamādhi.
‘Idaṃ dukkhaṃ ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ dukkhaṃ ariyasaccaṃ pariññeyyan’ti me, bhikkhave, pubbe … pe … udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ dukkhaṃ ariyasaccaṃ pariññātan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi.
‘Idaṃ duk­kha­sa­muda­yaṃ ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ duk­kha­sa­muda­yaṃ ariyasaccaṃ pahātabban’ti me, bhikkhave, pubbe … pe … udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ duk­kha­sa­muda­yaṃ ariyasaccaṃ pahīnan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi.
‘Idaṃ dukkhanirodhaṃ ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ dukkhanirodhaṃ ariyasaccaṃ sacchikātabban’ti me, bhikkhave, pubbe … pe … udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ dukkhanirodhaṃ ariyasaccaṃ sacchikatan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi.
‘Idaṃ duk­kha­nirodha­gāminī paṭipadā ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ duk­kha­nirodha­gāminī paṭipadā ariyasaccaṃ bhāvetabban’ti me, bhikkhave, pubbe … pe … udapādi.
‘Taṃ kho panidaṃ duk­kha­nirodha­gāminī paṭipadā ariyasaccaṃ bhāvitan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi.

“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia penderitaan: kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; berkumpul dengan apa yang tidak menyenangkan adalah penderitaan; berpisah dengan apa yang menyenangkan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan.
“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia asal-mula penderitaan: adalah ketagihan yang menuntun menuju penjelmaan baru, disertai dengan kesenangan dan nafsu, mencari kenikmatan di sana-sini; yaitu, ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan, ketagihan pada pemusnahan.
“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia lenyapnya penderitaan: adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, meninggalkan dan melepaskannya, kebebasan darinya, tidak bergantung padanya.
“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan: adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

Dan Sang Buddha membabarkan tentang 4 kebenaran mulia yaitu :
1.      Kebenaran mulia tentang penderitaan, yaitu: kelahiran, penuaan, sakit, kematian, berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah dengan yang dicintai, tidak mendapat apa yang diinginkan. Penderitaan atau dukkha dibagi menjadi 3 garis besar, yaitu:
·        Penderitaan biasa (Dukkha Dukkha)
·        Penderitaan karena perubahan (Viparinama Dukkha)
·        Penderitaan karena kondisi yang bersyarat (Sankhara Dukkha)
2.      Kebenaran mulia tentang asal-mula penderitaan, yaitu: Nafsu keinginan yang rendah (Tanha). Tanha dibagi menjadi 3, yaitu:
·        Nafsu keinginan untuk memuaskan indrawi (Kama Tanha)
·        Nafsu keinginan untuk terlahir kembali (Bhava Tanha)
·        Nafsu keinginan untuk tidak terlahir kembali (Vibhava Tanha)
3.      Kebenaran mulia tentang akhir penderitaan, yaitu: Padamnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin atau bisa disebut Nibbana. Nibbana dibagi menjadi 2, yaitu:
·        Nibbana yang masih menyisakan 5 kelompok kehidupan (Sa-Upadisesa Nibbana)
·        Nibbana yang tidak menyisakan 5 kelompok kehidupan (An-Upadisesa Nibbana)
4.      Kebenaran mulia tentang jalan menuju akhir dukkha, yaitu: Memahami dan mempraktekan jalan mulia berunsur delapan. Jalan mulia berunsur delapan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kemoralan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Dari 3 Kelompok besar tersebut dibagi menjadi delapan, yaitu:
·        Kelompok Kemoralan:
1.      Ucapan Benar
2.      Pebuatan Benar
3.      Mata Pencaharian Benar
·        Kelompok Konsentrasi:
1.      Daya Upaya / Usaha Benar
2.      Perhatian Benar
3.      Konsentrasi Benar
·        Kelompok Kebijaksanaan:
1.      Pandangan Benar
2.      Pikiran Benar

Yāvakīvañca me, bhikkhave, imesu catūsu ariyasaccesu evaṃ tiparivaṭṭaṃ dvādasākāraṃ yathābhūtaṃ ñāṇadassanaṃ na suvisuddhaṃ ahosi, neva tāvāhaṃ, bhikkhave, sadevake loke samārake sabrahmake ­sassama­ṇab­rāhma­ṇiyā pajāya sade­va­manus­sāya ‘anuttaraṃ sammāsambodhiṃ abhisambuddho’ti paccaññāsiṃ.
Yato ca kho me, bhikkhave, imesu catūsu ariyasaccesu evaṃ tiparivaṭṭaṃ dvādasākāraṃ yathābhūtaṃ ñāṇadassanaṃ suvisuddhaṃ ahosi, athāhaṃ, bhikkhave, sadevake loke samārake sabrahmake ­sassama­ṇab­rāhma­ṇiyā pajāya sade­va­manus­sāya ‘anuttaraṃ sammāsambodhiṃ abhisambuddho’ti paccaññāsiṃ. Ñāṇañca pana me dassanaṃ udapādi: ‘akuppā me vimutti, ayamantimā jāti, natthi dāni punabbhavo’”ti. Idamavoca bhagavā. Attamanā pañcavaggiyā bhikkhū bhagavato bhāsitaṃ abhinandunti.
Imasmiñca pana vey­yāka­ra­ṇas­miṃ bhaññamāne āyasmato koṇḍaññassa virajaṃ vītamalaṃ dhammacakkhuṃ udapādi: “yaṃ kiñci samuda­ya­dhammaṃ sabbaṃ taṃ nirodhadhamman”ti.
Pavattite ca pana bhagavatā dhammacakke bhummā devā sad­da­manus­sā­vesuṃ: “etaṃ bhagavatā bārāṇasiyaṃ isipatane migadāye anuttaraṃ dhammacakkaṃ pavattitaṃ appaṭivattiyaṃ samaṇena vā brāhmaṇena vā devena vā mārena vā brahmunā vā kenaci vā lokasmin”ti. Bhummānaṃ devānaṃ saddaṃ sutvā cātumahārājikā devā sad­da­manus­sā­vesuṃ: “etaṃ bhagavatā bārāṇasiyaṃ isipatane migadāye anuttaraṃ dhammacakkaṃ pavattitaṃ, appaṭivattiyaṃ samaṇena vā brāhmaṇena vā devena vā mārena vā brahmunā vā kenaci vā lokasmin”ti. ­Cātuma­hārāji­kānaṃ devānaṃ saddaṃ sutvā tāvatiṃsā devā … pe … yāmā devā … pe … tusitā devā … pe … nimmānaratī devā … pe … para­nimmita­vasavattī devā … pe … brahmakāyikā devā sad­da­manus­sā­vesuṃ: “etaṃ bhagavatā bārāṇasiyaṃ isipatane migadāye anuttaraṃ dhammacakkaṃ pavattitaṃ appaṭivattiyaṃ samaṇena vā brāhmaṇena vā devena vā mārena vā brahmunā vā kenaci vā lokasmin”ti.
Itiha tena khaṇena tena layena tena muhuttena yāva brahmalokā saddo abbhuggacchi. Ayañca dasasa­has­siloka­dhātu saṅkampi sampakampi sampavedhi, appamāṇo ca uḷāro obhāso loke pāturahosi atikkamma devānaṃ devānubhāvanti.
Atha kho bhagavā imaṃ udānaṃ udānesi: “aññāsi vata bho, koṇḍañño, aññāsi vata bho, koṇḍañño”ti. Iti hidaṃ āyasmato koṇḍaññassa “aññāsikoṇḍañño” tveva nāmaṃ ahosīti.

“‘Ini adalah kebenaran mulia penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia penderitaan harus dipahami sepenuhnya’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia penderitaan telah dipahami sepenuhnya’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah kebenaran mulia asal-mula penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia asal-mula penderitaan harus ditinggalkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia asal-mula penderitaan telah ditinggalkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah kebenaran mulia lenyapnya penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia lenyapnya penderitaan harus direalisasikan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia lenyapnya penderitaan telah direalisasikan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dikembangkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan telah dikembangkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“Selama, para bhikkhu, pengetahuanKu dan penglihatanKu pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini belum sepenuhnya dimurnikan dengan cara ini, Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada taranya di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika pengetahuanKu dan penglihatanKu pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini telah sepenuhnya dimurnikan dengan cara ini, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada taranya di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘Kebebasan batinKu tidak tergoyahkan. Ini adalah kelahiranKu yang terakhir. Tidak akan ada lagi penjelmaan baru.’”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Bersuka cita, Kelompok Lima Bhikkhu itu gembira mendengar penjelasan Sang Bhagavā. Dan selagi khotbah ini sedang dibabarkan, muncullah pada Yang Mulia Kondañña penglihatan Dhamma tanpa noda, bebas dari debu: “Apa pun yang tunduk pada kemunculan, semuanya tunduk pada kelenyapan.”
Dan ketika Roda Dhamma ini telah diputar oleh Sang Bhagavā, para deva yang bertempat tinggal di bumi berseru: “Di Bārāṇasī, di Taman Rusa di Isipatana, Roda Dhamma yang tiada taranya telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia.” Setelah mendengar seruan para deva yang bertempat tinggal di bumi, para deva di alam Empat Raja Deva berseru: “Di Bārāṇasī … Roda Dhamma yang tiada taranya telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan … oleh siapa pun di dunia.” Setelah mendengar seruan para deva di alam Empat Raja Deva, para deva Tāvatiṃsa … para deva Yāma … para deva Tusita … para deva Nimmānaratī … para deva Paranimmitavasavattī … para deva kumpulan Brahmā berseru: “Di Bārāṇasī, di Taman Rusa di Isipatana, Roda Dhamma tanpa banding telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia.”
Demikianlah pada saat itu, seketika itu, pada detik itu, seruan itu menyebar hingga sejauh alam brahmā, dan sepuluh ribu sistem dunia ini berguncang, bergoyang, dan bergetar, dan cahaya agung yang tanpa batas muncul di dunia melampaui keagungan surgawi para deva.
Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan ucapan inspiratif ini: “Koṇḍañña sungguh telah mengerti! Koṇḍañña sungguh telah mengerti!” Demikianlah Yang Mulia Koṇḍañña memperoleh nama “Aññā Koṇḍañña—Koṇḍañña Yang Telah Mengerti.”


Sang Buddha setelah menemukan jalan tengah dan memahami tentang 4 kebenaran mulia langsung  mendapat pengetahuan dan pemahaman sehingga bisa mencapai pencerahan yang tiada taranya di dunia ini.  Setelah pembabaran khotbah ini kondanna langsung mencapai tingkat kesucian pertama dan langsung minta ditahbiskan menjadi bhikkhu kepada sang Buddha dan bhikkhu kondanna disebut dengan anna kondanna atau kondanna yang telah mengerti.

Friday, December 6, 2013

Khema [Ratu Cantik yang menjadi siswi utama Sang Buddha]


Sama seperti Sang Buddha telah menunjuk 2 siswa utama, Y.A Sariputta dan Y.A Mogallana untuk Sangha Bhikkhu, Beliau juga menunjuk dua orang siswa utama wanita untuk Sangha Bhikkhuni. Mereka adalah Y.A Khema dan Y.A Uppalavanna
Khema adalah salah satu dari ratu-ratu cantik raja Bimbisara. Perubahan yang terjadi pad diri ratu Khema ini adalah kejadian yang jaran, dimana Sang Buddha menggunakan kekuatan batin Beliau untuk membuat perubahan di hati orang lain. Sang Buddha tidak pernah menggunakan kekuatan Beliau untuk mengendalikan emosi/perasaan orang lain, melainkan semata-mata untuk membangkitkan pengeritan dan memunculkan kebijaksanaan.
Khema cantik bagaikan bulan purnama sepoi-sepoi, Khema memutuskan untuk mengunjungi vihara yang dibangun oleh raja Bimbisara untuk Sang Buddha di Hutan bambu. Tupia-tupai berlarian di pohon-pohon buah yang membuat bayang-bayang di atas rumput. Telaga-telaga ditutupi oleh teratai-teratai dan bau wangi jasmin berhembus di udara.
Kemudian Khema tertarik dengan suara yang dalam dan jernih yang datang dari ruang pembabaran Dhamma. Ini tidak seperti apa yang pernah a dengar sebelumnya. Suara ini terdengar lebih indah dan merdu daripada nyanyian burung-burung pada waktu menjelang pagi. Suara itu begitu hangat, tenang, serta penuh cinta kasih dan perhatian. Kata-kata itu adalah kata-kata yang mengandung kebijaksanaan.
Bagaikan seekor lebah yang tertarik pada sekuntum bunga, Khema bergerak menuju ke ruang di mana Sang Buddha sedang memberikan uraian Dhamma.Karena ia tidak ingin Sang Buddha mengenalinya maka ia menurunkan kerudung kepalanya hingga menutupi wajahnya dan duduk di belakangan ruangan itu. Apa yang tidak ia ketahui bahwa Sang Buddha mengetahui siapa dia dan apa yang sedang ia pikirkan.
Dengan kekuatan batinNya, Sang Buddha menciptakan suatu perwujudan seorang gadis mdua yang amat cantik, berusia sekitar 16 tahun, sedang berdiri di samping Beliau dan mengipasi Beliau. Khema menghela nafas keheranan pada kecantikan gadis itu dan menatapi gadis itu dengan penuh kekaguman.
“Oh, lihat itu bentuk hidungnya yang indah, bibirnya, lengan dan jari-jarinya”, pikir Khema. “Dengan kulitnya yang sempurna, dia tampak seperti bunga yang mekar merekah di musim semi. Dia jauh lebih cantik daripada siapapun yang pernah saya lihat, dan juga, dia jauh lebih cantik daripada saya”.
Selang beberapa saat, Khema berpikir bahwa matanya sedang menipunya. Apakah dia melihat bahwa gadis mdua itu berubah menjadi tua? Ya, benar. Kecantikan itu memudar dari perwujudannya yang cantik. Dengan cepatnya kerutan-kerutan muncul pada wajahnya, dan senyum pada bibirnya yang seperti bunga lotus, berubah menjadi seringaian yang ompong. Rambutnya berubah menjadi abu-abu, kemudian putih. Anggota-anggota badan yang semula ramping berisi dan kuat berubah menjadi kurus dan lemah, dan dia jatuh ke lantai. Dari seorang gadis yang muda, perwujudan ini kemudian berubah menjadi seorang perempuan tua yang berusia 80 tahun.
Khema melihat perempuan tua ini mati dan membusuk sampai tulang-tilangnya menjadi debu.Khema kemudian menyadari bahwa sama seperti gadis cantik itu, suatu hari ia juga akan menjadi tua dan mati. Semua kesombongan dan kecantikan luar, luluh dari dirinya dan ia seketika mengerti akan ketidak-kekalan dari fisik jasmani dan kehidupan.

Ia mencapai tingkat Arahat, dan ia memasuki Sangha Bhikkhuni setelah mendapatkan izin dari raja Bimbisara. Ia menduduki ranking pertama dalam Pandangan Terang di antara para bhikkhuni lainnya.

Bimbisara [Raja Pertama Penyokong Sang Buddha]

Raja Bimbisara sejak dulu telah menawarkan setengah dari kerajaannya kepada Pertapa Gotama, saat Pertapa Gotama pergi melepaskan keduniawiannya kerana Beliau ingin mencari Pencerahan. Raja Bimbisara meminta Beliau agar berkenan kembali ke Rajagaha untuk mengajarkan Dhamma begitu Sang Pertapa telah mendapatkan apa yang Ia cari.
Ketika Pertapa Gotama telah menjadi Buddha, Seorang yang Telah Mencapai Penerangan, beliau tidak melupakan janjiNya untuk kembali. Dengan diikuti oleh sejumlah besar muridNya, Beliau memutuskan untuk mengunjungi Rajagaja. Ketenaran Beliau sebagai guru spiritual telah menyebar di kota itu dan hal itu akhirnya diketahui oleh raja Bimbisara.
Demi mendengar bahwa Sang Buddha telah tiba di gerbang kota, Raja dengan sejumlah besar pengawalnya pergi untuk menyambut Sang Buddha dan para muridNya. Ia mendekati Sang Buddha dan memberikan salam hormatnya; tetapi para pengawal raja tidak tahu kepada siapa mereka harus memberi hormat; kepada Sang Buddha atau kepada Yang Mulia Kassapa. Mereka ragu apakah Sang Buddha yang menjalani kehidupan suci dibawah bimbignan Yang Mulia Kassapa ataukah sebaliknya, karena mereka berdua sama-sama merupakan guru-guru spiritual yang amat disegani.
Sang Buddha membaca pikiran mereka dan bertanya kepada Yang Mulia kassapa mengapa ia meninggalkan cara-cara pemujaan-apinya. Mengerti maksud di balik pertanyaan tersebut, Yang Mulia Kassapa menerangkan bahwa ia lebih senang dengan keadaan damai Nibbana daripada kesenangan-kesenagan inderawi. Setelah itu ia menjatuhkan dirinya di kaki Sang Buddha dan berkata, "Guruku, Sang Buddha, adalah Sang Bhagava; saya adalah murid Beliau".
Orang-orang yang menpunyai keyakinan merasa sangat bahagia mendengarkan percakapan tersebut. Kemudian Sang Buddha membabarkan Dhamma, dan raja Bimbisara mencapai tingkat kesucian pertama. Setelah menembus jalan tersebut, raja bimbisara mengatakan kepada Sang Buddha, “Dulu, O Sang Bhagava, ketika saya masuih sebagai seorang pangeran, saya mempunyai lima harapan. Kelimat harapan tersebutkini telah terpenuhi. Harapan saya yang pertama adalah menjadi Raja. Harapan yang kedua adalah bahwa Samma Sambuddha mau mengunjungi kerajaanku. Harapan yang ketiga adalah bahwa saya akan menjadi pengikut dari Samma Sambuddha tersebut. Harapan yang keempat adalah bahwa Beliau berkenan membabarkan Dhamma kepada saya. Harapan yang kelima adalah bahwa saya dapat mengerti ajaran/Dhamma tersebut. Kini kelima harapanku itu telah terpenuhi”.
Karena merasa amat berterima kasih atas hadiah Dhamam dari Sang buddha ini, raja bimbisara mempersembahkan sebuah taman dengan hutan bambu yang tenang kepada Sang Buddha dan para muridNya untuk dipergunakan. Taman ini kemudian diberi nama Hutan Bambu. Sang Buddha menghabiskan tiga masa vassa berturut-turut disana dan tiga masa vassa lainnya kemudian.

Setelah mendengarkan Dhamma, raja Bimbisara menjadi penguasa yang baik dan setia pada agama. Tetapi kaerna disebabkan oleh karma buruknya yang lampau ia harus menghadapi kematian yang tidak pada waktunya serta menyengsarakan yang disebabkan oleh kekejaman putranya sendiri.

Jadwal Sehari-hari Sang Buddha

Kegiatan Sang Buddha tiap hari adalah sebagai berikut:
Pagi hari (pukul 04.00 – pukul 12.00
Sang Buddha bangun pukul 04.00 pagi, setelah mandi lantas duduk bermeditasi selama satu jam. Dari pukul 05.00 pagi, selama satu jam, Sang Buddha melihat dengan mata dewa ke seluruh dunia, barangkali ada orang yang memerlukan pertolongan Beliau.
Pukul 06.00 pagi memakai jubah-Nya dan pergi ke desa atau kota untuk mengumpulkan makanan atau pergi mengunjungi orang yang memerlukan pertolongan Beliau.
Tiba di desa atau kota, Sang Buddha berjalan dari rumah ke rumah dengan mata ditujukan ke tanah dan menerima makanan apa saja yang dimasukkan ke dalam mangkuk-Nya dengan tidak mengucapkan sesuatu kata pun. Kalau pergi bersama-sama dengan murid-Nya, mereka merupakan barisan yang panjang karena berjalan satu per satu. Pada waktu Sang Buddha menerima juga undangan makan di rumah seorang umat. Sehabis bersantap, Beliau selalu memberikan khotbah Dhamma. Kalau ada orang yang minta diterima sebagai murid/pengikut, maka Beliau mentahbiskannya di tempat tersebut.
Siang hari (pukul 12.00 – pukul 18.00)
Waktu ini biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan dari para bhikkhu. Sang Buddha menjawab semua pertanyaan dengan disertai nasehat dan petunjuk mengenai meditasi. Kalau mereka pulang, maka Sang Buddha beristirahat di kamar-Nya dan dengan mata dewa melihat ke seluruh dunia, barangkali ada orang yang memerlukan pertolongan-Nya. Kalau Beliau melihat ada yang memerlukan pertolongan, maka Beliau segera mengunjunginya.
Kalau hari itu tidak ada orang yang memerlukan pertolongan Beliau, maka Beliau keluar dari kamar untuk bertemu dengan ratusan orang yang berkumpul di ruang khotbah (Dhammasala).
Di Dhammasala, Sang Buddha memberikan khotbah dengan cara yang khas, sehingga tiap orang merasa bahwa khotbah itu ditujukan kepada dirinya. Dengan demikian Sang Buddha memberikan kegembiraan kepada orang yang bijaksana, mempertinggi pengetahuan orang biasa dan memberi penerangan kepada orang yang sedang dihinggapi kegelapan batin.
Waktu jaga pertama (pukul 18.00-pukul 22.00)
Waktu ini para bhikkhu kembali datang untuk mendengar khotbah Dhamma atau untuk bertanya tentang hal-hal yang masih mereka ragukan. Selain para bhikkhu juga umat biasa banyak yang datang menemui Sang Buddha.
Waktu jaga kedua (pukul 22.00-pukul 02.00)
Para dewa datang untuk mendengarkan Dhamma yang khusus ditujukan kepada mereka. Mereka tidak dapat dilihat dengan mata biasa.
Waktu jaga ketiga (pukul 02.00-pukul 04.00)
Dari pukul 02.00 sampai pukul 03.00, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di luar kamar (melakukan meditasi berjalan) sambil menghirup udara pagi. Pukul 03.00 pagi, Sang Buddha tidur selama satu jam dan bangun pada pukul 04.00 pagi.

Pangeran Rahula

Pada hari ke tujuh Sang Buddha di Kapilavatthu, Putri Yasodhara mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya ke sebuah jendela. Dari jendela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang. Putri Yasodhara kemudian bertanya kepada Rahula, “Anakku sayang, tahukah engkau siapa orang itu?”
Beliau adalah Buddha, Ibu,” jawab Rahula.
Yasodhara tidak dapat lagi menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata,
Sayang, pertapa yang kulitnya kuning emas itu dan kelihatannya sebagai Brahma dikelilingi oleh ribuan murid-Nya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka. Setelah ayahmu meninggalkan istana, tidak lagi diketahui apa yang terjadi dengan harta tersebut. Pergilah kepadanya dan mintalah hadiah sambil barkata, “Ayah, aku adalah Pangeran Rahula. Kalau aku kelak menjadi Raja, aku akan menjadi Raja di raja. Aku mohon diberi harta pusaka, karena seorang anak adalah pewaris dari apa yang menjadi milik ayahnya.”
Pangeran Rahula yang masih murni dan belum tahu apa-apa pergi mendekati Sang Buddha dan sambil memegang jari tangan Sang Buddha dan menatap muka-Nya, Rahula mengatakan apa yang tadi dipesankan oleh ibunya. Kemudian ia menambahkan, “Ayah, bahkan bayangan Ayah membuat hatiku senang.”
Selesai makan siang, Sang Buddha meninggalkan istana dan Rahula mengikuti sambil terus merengek-rengek, “Ayah, berikanlah harta pusaka, Ayah memiliki banyak harta, Ayah, aku mohon dengan sangat, berikanlah kepadaku warisan.”
Tidak ada orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga membiarkan saja Rahula merengek-rengek sambil terus mengikuti jalan di samping-Nya. Tiba di taman, Sang Buddha berpikir,
Rahula minta warisan harta pusaka ayahnya, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan. Lebih baik Aku memberinya warisan yang berupa Tujuh Faktor Penerangan Agung yang Aku peroleh di bawah pohon Bodhi. Dengan demikian ia akan mewarisi harta pusaka yang paling mulia.”
Tiba di vihara, Sang Buddha minta kepada Sariputta untuk mentahbiskan Rahula menjadi Samanera.
Mendengar berita bahwa Rahula telah ditahbiskan menjadi samanera, Raja Suddhodana menjadi sedih sekali.
Raja lalu pergi menemui Sang Buddha dan dengan sopan menegur dengan kata-kata,
Waktu dulu anakku meninggalkan istana membuat aku sedih, sedih dan sakit sekali. Waktu Nanda meninggalkan istana hatiku menjadi hancur dan menderita sekali. Kemudian aku mencurahkan cinta dan perhatianku kepada cucuku Rahula dan mencintai melebihi cintaku kepada siapa pun juga. Sekarang Rahula dibawa kemari dan ditahbiskan menjadi samanera. Aku sangat menyesal dan tidak senang akan apa yang telah terjadi. Aku mohon dengan sangat  agar mulai hari ini tidak lagi ada seorang bhikkhu atau samanera yang ditahbiskan tanpa izin dari orang tuanya.”
Sang Buddha menyetujui permohonan Raja Suddhodana dan mulai hari itu tidak mentahbiskan bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin dari orangtuanya.
Keesokan harinya, setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Anagami.

Ananda

Setelah Sang Buddha beberapa lama diam di Kapilavatthu, 80.000 orang telah ditahbiskan menjadi bhikkhu, yaitu satu orang dari setiap keluarga. Kemudian Sang Buddha dengan rombongan berangkat ke Rajagaha.
Sewaktu dalam perjalanan, Sang Buddha berhenti di hutan mangga Anupiya dan di tempat itu Beliau dikunjungi oleh Anuruddha, Bhaddiya, Ananda, Bhagu, Kimbila, Devadatta, dan tukang pangkas rambut mereka yang bernama Upali.
Di kisahkan bahwa lima orang dari mereka dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian Arahat. Ananda mencapai tingkat kesucian Sotapanna dan Devadatta tidak mencapai tingkat kesucian, tetapi memperoleh kekuatan gaib yang luar biasa dan yang tertinggi yang dapat dicapai seorang manusia.
Ananda dilahirkan pada hari, bulan, dan tahun yang sama dengan Sang Buddha dan terkenal sekali karena sumbangannya untuk kemajuan dan perkembangan Buddha Dhamma.
Selama 20 tahun setelah mencapai Penerangan Agung, Sang Buddha belum mempunyai seorang pembantu tetap. Setiap hari secara bergantian bhikkhu Nagasamala, Nagita, Upavana, Sunakkhata, Sagata, Radha, dan Meghiya, dan samanera Cunda membantu dan melayani Sang Bhagava (Buddha), meskipun tidak teratur.
Pada suatu hari dalam khotbah-Nya di Rajagaha, Sang Bhagava menyinggung tentang perlunya ditunjuk seorang pembantu tetap karena merasa usia-Nya yang sudah meningkat. Semua murid utama-Nya yang terdiri dari delapan puluh Arahat, seperti Sariputta dan Mogallana, menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap. Tetapi semuanya ditolak. Para Arahat kemudian menganjurkan Ananda, yang selama itu diam saja, untuk memohon kepada Sang Bhagava agar dapat diterima menjadi pembantu tetap. Jawaban Ananda dalam hal ini sungguh menarik sekali. Ananda mengatakan, “Kalau Sang Bhagava memang memerlukan Ananda sebagai pembantu tetap, Sang Bhagava boleh mengatakannya.”
Kemudian Sang Buddha berkata, “Ananda, jangan membiarkan orang lain menganjurkan engkau untuk memohon pekerjaan tersebut. Atas kemauan sendiri engkau dapat menjadi pembantu tetap Sang Buddha.”
Baru setelah itulah Ananda menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap asal saja Sang Buddha berkenan meluluskan delapan permintaannya, yaitu untuk menolak empat hal dan meluluskan empat hal lainnya.
Empat hal yang Ananda mohon supaya ditolak adalah :
1. Apabila Sang Buddha menerima pemberian jubah yang bagus, maka jubah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda.
2. Kalau Sang Buddha menerima hadiah, maka hadiah tersebut tidak boleh diberikan kepada Ananda.
3. Bahwa Ananda tidak boleh diminta untuk tidur di kamar pribadi Sang Buddha yang harum baunya (Gandhakuti).
4. Kalau Sang Buddha menerima undangan pribadi, maka undangan itu tidak termasuk untuk dirinya.
Ananda mengatakan kalau Sang Buddha melakukan satu dari empat hal yang tersebut di atas, maka orang akan bercerita bahwa Ananda menjadi pembantu tetap karena ingin mendapat jubah bagus, makanan enak, tempat tinggal yang menyenangkan dan agar bisa ikut serta kalau Sang Buddha mendapat undangan.
Empat hal yang Ananda mohon Sang Buddha menerimannya :
1. Kalau Ananda menerima sebuah undangan atas nama Sang Buddha, maka Sang Buddha harus memenuhinya.
2. Kalau ada orang datang dari tempat jauh, supaya ia boleh membawanya menghadap kepada Sang Buddha.
3. Setiap waktu ia diperbolehkan untuk bertanya kepada Sang Buddha, apabila ia merasa ada sesuatu yang diragu-ragukan.
4. Apa pun juga yang Sang Buddha khotbahkan sewaktu ia tidak hadir, supaya Sang Buddha bersedia mengulangnya kembali.
Kalau hal ini tidak diperkenankan, orang akan bertanya-tanya, apa sebenarnya faedah dari pengabdian tersebut. Hanya kalau delapan permohonan ini dikabulkan, ia akan mendapat kepercayaan khalayak ramai dan mereka tahu bahwa Sang Buddha mempunyai kepercayaan besar terhadap dirinya. Setelah Sang Buddha setuju dan memberikan anugerah (Vara) berupa Delapan Hak Istimewa tersebut, maka mulai hari itu Ananda resmi menjadi Buddha-Upatthaka (pembantu tetap Sang Buddha).
Selama 25 tahun lamanya Ananda melayani Sang Buddha, mengikuti-Nya sebagai sebuah bayangan, mengambilkan air, mencuci kaki-Nya, menemani kemana pun Sang Buddha pergi, membersihkan kamar-Nya dan hal-hal lain lagi.
Justru karena hubungan erat inilah, maka Ananda mempunyai kesempatan istimewa untuk mendengarkan semua khotbah Sang Buddha. Dibantu dengan ingatan kuat yang dimilikinya, maka Ananda dapat mengulang semua khotbah Sang Buddha. Karena itu Ananda juga dinamakan Bendahara Dhamma (Dhamma-bhandagarika).
Ananda mencapai tingkat Arahat tiga bulan setelah Sang Buddha mangkat, yaitu pada hari pembukaan Sidang Agung Pertama di Goa Sattapanni, kota Rajagaha yang diketuai oleh Maha Kassapa. Di sidang tersebut, Ananda mengulang khotbah-khotbah (Sutta) Sang Buddha, sedangkan Upali mengulang tata tertib (Vinaya) para bhikkhu dan bhikkhuni.
Patut pula dicatat sebagai jasa Ananda bahwa berkat sokongannya yang kuat, Putri Pajapati berhasil diterima menjadi bhikkhuni oleh Sang Buddha, yang menjadi permulaan berdirinya Sangha Bhikkhuni.
Dan Ananda jugalah, atas perintah Sang Buddha, merancang jubah bhikkhu dengan mengambil contoh sawah-sawah di Magadha.
Ananda meninggal dunia pada usia 120 tahun. Pada hari akan meninggal dunia, Ananda pergi ke tepi Sungai Rohini. yang menjadi perbatasan antara Kapilavatthu dan negara Koliya. Setelah memberikan khotbah kepada para keluarganya yang berkumpul di kedua tepi sungai, Ananda berjalan ke tengah Sungai Rohini dan di situlah dari tubuhnya keluar api yang membakar badan jasmaninya.
Keluarganya di kedua tepi sungai mengumpulkan abu sisa badan jasmaninya, dibagi dua dan kemudian mereka mendirikan dua buah stupa sebagai penghormatan kepada Ananda, satu di Kapilavatthu dan satu lagi di negara Koliya.
Seperti diketahui di halaman muka, Ananda adalah putra tunggal dari Pengeran Sukkhodana, adik Raja Suddhodana.

Wejangan Terakhir Dari Sang Bhagava

Kini Sang Bhagava berkata kepada Ananda, “Ada kemungkinan bahwa di antara kalian ada yang berpikir, ‘Berakhirlah kata-kata Sang Guru; kita tidak mempunyai seorang Guru lagi.’ Tetapi, Ananda, hendaknya jangan ada orang yang berpikir seperti itu. Sebab apa yang telah Aku ajarkan sebagai Dhamma (Ajaran) dan Vinaya (Tata Tertib), Ananda, itulah kelak yang akan menjadi Gurumu, apabila Aku sudah tidak ada lagi.”

“Dan, Ananda, sebagaimana sekarang para bhikkhu menegur satu sama lain dengan menggunakan ‘Sahabat’ (Avuso), setelah Aku sudah tidak ada lagi, maka kebiasaan itu harus diubah. Seorang bhikkhu senior, Ananda, boleh memanggil bhikkhu yang lebih muda dengan memanggil namanya, nama keluarganya atau dengan Avuso (sahabat); sedangkan seorang bhikkhu yunior harus memanggil seorang bhikkhu yang lebih senior dengan “Bhante” atau “Ayasma”.

Apabila dikehendaki, Ananda, setelah Aku sudah tidak ada lagi, Sangha dapat menghapus aturan-aturan yang kurang penting (minor rules).”

Ananda, bila Sang Tathagata sudah tidak ada lagi, Sangha harus melaksanakan hukuman berat (brahmadanda) terhadap Bhikkhu Channa.”

Tetapi, Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”

Ananda, Bhikkhu Channa boleh mengatakan apa saja yang ia suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak boleh bicara dengannya, tidak boleh menasehatinya dan tidak boleh memberi petunjuk kepadanya.”

“Kemudian Sang Bhagava bertanya kepada para bhikkhu, ‘Oh, Bhikkhu, mungkin ada di antara kalian yang masih ragu-ragu atau bimbang terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, terhadap Sang Jalan dan terhadap pelaksanaannya. Engkau boleh mengajukan pertanyaan, oh Bhikkhu. Janganlah di kemudian hari engkau menyesal dengan mempunyai pikiran, ‘Sang Guru ketika itu terasa di tengah-tengah kami, berhadap-hadapan muka dengan kami, meskipun berhadap-hadapan muka, kami lalai untuk bertanya kepada Beliau.’’”

Meskipun ditanya demikian, namun para bhikkhu diam saja. Untuk kedua kali dan untuk ketiga kali para bhikkhu ditanya, para bhikkhu diam saja. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada mereka, "Mungkin karena ingin menghormat kepada Sang Guru, engkau tidak mau mengajukan pertanyaan apa-apa. Baiklah kalian berunding dulu dan kemudian baru mengajukan pertanyaan.” Namun para bhikkhu tetap membisu.

Kemudian Ananda berkata kepada Sang Bhagava, “Sungguh mengherankan, Bhante, sungguh luar biasa! Saya mempunyai keyakinan bahwa di antara para bhikkhu yang hadir di sini, tak ada seorang pun yang masih ragu-ragu atau bimbang terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, terhadap Sang Jalan atau terhadap pelaksanaannya!”

Karena engkau mempunyai keyakinan, Ananda, sehingga engkau berbicara seperti itu. Namun di sini dapat Aku terangkan, Ananda, bahwa Sang Tathagata memang tahu dengan pasti bahwa tidak ada seorang pun yang merasa ragu-ragu atau bimbang terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, terhadap Sang Jalan dan terhadap pelaksanaannya. Karena, Ananda, di antara lima ratus bhikkhu yang hadir di sini, yang terendah sudah memperoleh tingkat kesucian Sotapanna, sehingga mereka sudah terbebas dan tak dapat jatuh lagi ke alam-alam sengsara, dan terjamin dalam perjalanannya menuju Pembebasan Terakhir.”

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu, “Karena itu, oh Bhikkhu, dengarlah baik-baik nasehat-Ku, ‘Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-unsur dikodratkan akan hancur kembali. Karena itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh (Handa ‘dani bhikkhave amantayamive : Vayadhamma sankhara, appamadena sampadetha)!” ini adalah ucapan terakhir dari Sang Tathagata.