Tuesday, November 7, 2017

Dhammacakkhapavatana Sutta

Ekaṃ samayaṃ bhagavā bārāṇasiyaṃ viharati isipatane migadāye. Tatra kho bhagavā pañcavaggiye bhikkhū āmantesi:
“Dveme, bhikkhave, antā pabbajitena na sevitabbā. Katame dve? Yo cāyaṃ kāmesu kāma­su­khal­li­kānu­yogo hīno gammo pothujjaniko anariyo anatthasaṃhito, yo cāyaṃ atta­kila­mathā­nuyogo dukkho anariyo anatthasaṃhito. Ete kho, bhikkhave, ubho ante anupagamma majjhimā paṭipadā tathāgatena abhisambuddhā cakkhukaraṇī ñāṇakaraṇī upasamāya abhiññāya sambodhāya nibbānāya saṃvattati.

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Kelompok Lima Bhikkhu sebagai berikut:
“Para bhikkhu, dua ekstrim ini tidak boleh diikuti oleh seorang yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah dua ini? Mengejar kebahagiaan indria dalam kenikmatan indria, yang rendah, kasar, cara-cara kaum duniawi, tidak mulia, tidak bermanfaat; dan mengejar penyiksaan diri, yang menyakitkan, tidak mulia, tidak bermanfaat. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata telah membangkitkan jalan tengah, yang memunculkan penglihatan, yang memunculkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

Dhammacakkhapavatana sutta atau khotbah pemutaran roda dhamma pertama kalinya dibabarkan di Taman Rusa Isipatana di bulan Asalha. Pembabaran Dhammacakkhapavatana sutta biasa diperingati sebagai hari raya Asadha. Dhammacakkhapavatana sutta dibabarkan kepada 5 orang pertapa yaitu: Asaji, Vappa, Bhadiya, Mahanama, dan Kondanna. Pada khotbah ini sang Buddha membabarkan tentang 2 jalan ekstrim yang tidak boleh diikuti oleh orang yang telah meninggalkan keduniawian yaitu:
1.      Memuaskan nafsu indrawi
2.      Menyiksa diri yang berlebihan
Sang Buddha telah menemukan jalan tengah yang bisa membawa kita menuju pencerahan tertinggi yaitu Nibbana. Kehidupan kita ini bagaikan senar kecapi dan latihan yang kita jalankan sebagai tarikan pada senar kecapi. Bagaikan senar kecapi yang ditarik terlalu pelan (selalu memuaskan nafsu indrawinya) maka senar tersebut tidak akan menghasilkan suara,tetapi jika senar tersebut ditarik terlalu kencang maka senar tersebut akan putus dan tidak akan bisa menghasilkan suara,kita harus bisa menyesuaikan tarikan tersebut agar bisa menghasilkan suara yang indah.

Katamā ca sā, bhikkhave, majjhimā paṭipadā tathāgatena abhisambuddhā cakkhukaraṇī ñāṇakaraṇī upasamāya abhiññāya sambodhāya nibbānāya saṃvattati? Ayameva ariyo aṭṭhaṅgiko maggo, seyyathidaṃ—sammādiṭṭhi sammāsaṅkappo sammāvācā sammākammanto sammāājīvo sammāvāyāmo sammāsati sammāsamādhi. Ayaṃ kho sā, bhikkhave, majjhimā paṭipadā tathāgatena 
abhisambuddhā cakkhukaraṇī ñāṇakaraṇī upasamāya abhiññāya sambodhāya nibbānāya saṃvattati.

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan tengah yang telah dibangkitkan oleh Sang Tathāgata itu, yang memunculkan penglihatan … yang menuntun menuju Nibbāna? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ini, para bhikkhu, adalah jalan tengah yang telah dibangkitkan oleh Sang Tathāgata itu, yang memunculkan penglihatan, yang memunculkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

Sang Buddha juga menjelaskan tentang jalan tengah yang telah ditemukannya yang bisa menuntun ke Nibbana. Apakah jalan yang bisa membawa ke Nibbana? Jalan tersebut adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu:
1.      Pandagan Benar
2.      Pikiran Benar
3.      Ucapan Benar
4.      Perbuatan Benar
5.      Penghidupan Benar
6.      Daya Upaya Benar
7.      Perhatian Benar
8.      Konsentrasi Benar
8 Jalan itulah yang bisa membawa semua mahkluk menuju Nibbana apabila sudah dipahami dan dipraktekan.

Idaṃ kho pana, bhikkhave, dukkhaṃ ariyasaccaṃ—jātipi dukkhā, jarāpi dukkhā, byādhipi dukkho, maraṇampi dukkhaṃ, appiyehi sampayogo dukkho, piyehi vippayogo dukkho, yampicchaṃ na labhati tampi dukkhaṃ—saṃkhittena pañcu­pādā­nak­khan­dhā dukkhā. Idaṃ kho pana, bhikkhave, duk­kha­sa­muda­yaṃ ariyasaccaṃ—yāyaṃ taṇhā ponobbhavikānandi­rāga­saha­gatā tatra­tat­rā­bhinan­dinī, seyyathidaṃ—kāmataṇhā, bhavataṇhā, vibhavataṇhā. Idaṃ kho pana, bhikkhave, dukkhanirodhaṃ ariyasaccaṃ—yo tassāyeva taṇhāya asesa­virāga­nirodho cāgo paṭinissaggo mutti anālayo. Idaṃ kho pana, bhikkhave, duk­kha­nirodha­gāminī paṭipadā ariyasaccaṃ— ayameva ariyo aṭṭhaṅgiko maggo, seyyathidaṃ—sammādiṭṭhi … pe … sammāsamādhi.
‘Idaṃ dukkhaṃ ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ dukkhaṃ ariyasaccaṃ pariññeyyan’ti me, bhikkhave, pubbe … pe … udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ dukkhaṃ ariyasaccaṃ pariññātan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi.
‘Idaṃ duk­kha­sa­muda­yaṃ ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ duk­kha­sa­muda­yaṃ ariyasaccaṃ pahātabban’ti me, bhikkhave, pubbe … pe … udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ duk­kha­sa­muda­yaṃ ariyasaccaṃ pahīnan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi.
‘Idaṃ dukkhanirodhaṃ ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ dukkhanirodhaṃ ariyasaccaṃ sacchikātabban’ti me, bhikkhave, pubbe … pe … udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ dukkhanirodhaṃ ariyasaccaṃ sacchikatan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi.
‘Idaṃ duk­kha­nirodha­gāminī paṭipadā ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ duk­kha­nirodha­gāminī paṭipadā ariyasaccaṃ bhāvetabban’ti me, bhikkhave, pubbe … pe … udapādi.
‘Taṃ kho panidaṃ duk­kha­nirodha­gāminī paṭipadā ariyasaccaṃ bhāvitan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi.

“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia penderitaan: kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; berkumpul dengan apa yang tidak menyenangkan adalah penderitaan; berpisah dengan apa yang menyenangkan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan.
“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia asal-mula penderitaan: adalah ketagihan yang menuntun menuju penjelmaan baru, disertai dengan kesenangan dan nafsu, mencari kenikmatan di sana-sini; yaitu, ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan, ketagihan pada pemusnahan.
“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia lenyapnya penderitaan: adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, meninggalkan dan melepaskannya, kebebasan darinya, tidak bergantung padanya.
“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan: adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

Dan Sang Buddha membabarkan tentang 4 kebenaran mulia yaitu :
1.      Kebenaran mulia tentang penderitaan, yaitu: kelahiran, penuaan, sakit, kematian, berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah dengan yang dicintai, tidak mendapat apa yang diinginkan. Penderitaan atau dukkha dibagi menjadi 3 garis besar, yaitu:
·        Penderitaan biasa (Dukkha Dukkha)
·        Penderitaan karena perubahan (Viparinama Dukkha)
·        Penderitaan karena kondisi yang bersyarat (Sankhara Dukkha)
2.      Kebenaran mulia tentang asal-mula penderitaan, yaitu: Nafsu keinginan yang rendah (Tanha). Tanha dibagi menjadi 3, yaitu:
·        Nafsu keinginan untuk memuaskan indrawi (Kama Tanha)
·        Nafsu keinginan untuk terlahir kembali (Bhava Tanha)
·        Nafsu keinginan untuk tidak terlahir kembali (Vibhava Tanha)
3.      Kebenaran mulia tentang akhir penderitaan, yaitu: Padamnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin atau bisa disebut Nibbana. Nibbana dibagi menjadi 2, yaitu:
·        Nibbana yang masih menyisakan 5 kelompok kehidupan (Sa-Upadisesa Nibbana)
·        Nibbana yang tidak menyisakan 5 kelompok kehidupan (An-Upadisesa Nibbana)
4.      Kebenaran mulia tentang jalan menuju akhir dukkha, yaitu: Memahami dan mempraktekan jalan mulia berunsur delapan. Jalan mulia berunsur delapan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kemoralan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Dari 3 Kelompok besar tersebut dibagi menjadi delapan, yaitu:
·        Kelompok Kemoralan:
1.      Ucapan Benar
2.      Pebuatan Benar
3.      Mata Pencaharian Benar
·        Kelompok Konsentrasi:
1.      Daya Upaya / Usaha Benar
2.      Perhatian Benar
3.      Konsentrasi Benar
·        Kelompok Kebijaksanaan:
1.      Pandangan Benar
2.      Pikiran Benar

Yāvakīvañca me, bhikkhave, imesu catūsu ariyasaccesu evaṃ tiparivaṭṭaṃ dvādasākāraṃ yathābhūtaṃ ñāṇadassanaṃ na suvisuddhaṃ ahosi, neva tāvāhaṃ, bhikkhave, sadevake loke samārake sabrahmake ­sassama­ṇab­rāhma­ṇiyā pajāya sade­va­manus­sāya ‘anuttaraṃ sammāsambodhiṃ abhisambuddho’ti paccaññāsiṃ.
Yato ca kho me, bhikkhave, imesu catūsu ariyasaccesu evaṃ tiparivaṭṭaṃ dvādasākāraṃ yathābhūtaṃ ñāṇadassanaṃ suvisuddhaṃ ahosi, athāhaṃ, bhikkhave, sadevake loke samārake sabrahmake ­sassama­ṇab­rāhma­ṇiyā pajāya sade­va­manus­sāya ‘anuttaraṃ sammāsambodhiṃ abhisambuddho’ti paccaññāsiṃ. Ñāṇañca pana me dassanaṃ udapādi: ‘akuppā me vimutti, ayamantimā jāti, natthi dāni punabbhavo’”ti. Idamavoca bhagavā. Attamanā pañcavaggiyā bhikkhū bhagavato bhāsitaṃ abhinandunti.
Imasmiñca pana vey­yāka­ra­ṇas­miṃ bhaññamāne āyasmato koṇḍaññassa virajaṃ vītamalaṃ dhammacakkhuṃ udapādi: “yaṃ kiñci samuda­ya­dhammaṃ sabbaṃ taṃ nirodhadhamman”ti.
Pavattite ca pana bhagavatā dhammacakke bhummā devā sad­da­manus­sā­vesuṃ: “etaṃ bhagavatā bārāṇasiyaṃ isipatane migadāye anuttaraṃ dhammacakkaṃ pavattitaṃ appaṭivattiyaṃ samaṇena vā brāhmaṇena vā devena vā mārena vā brahmunā vā kenaci vā lokasmin”ti. Bhummānaṃ devānaṃ saddaṃ sutvā cātumahārājikā devā sad­da­manus­sā­vesuṃ: “etaṃ bhagavatā bārāṇasiyaṃ isipatane migadāye anuttaraṃ dhammacakkaṃ pavattitaṃ, appaṭivattiyaṃ samaṇena vā brāhmaṇena vā devena vā mārena vā brahmunā vā kenaci vā lokasmin”ti. ­Cātuma­hārāji­kānaṃ devānaṃ saddaṃ sutvā tāvatiṃsā devā … pe … yāmā devā … pe … tusitā devā … pe … nimmānaratī devā … pe … para­nimmita­vasavattī devā … pe … brahmakāyikā devā sad­da­manus­sā­vesuṃ: “etaṃ bhagavatā bārāṇasiyaṃ isipatane migadāye anuttaraṃ dhammacakkaṃ pavattitaṃ appaṭivattiyaṃ samaṇena vā brāhmaṇena vā devena vā mārena vā brahmunā vā kenaci vā lokasmin”ti.
Itiha tena khaṇena tena layena tena muhuttena yāva brahmalokā saddo abbhuggacchi. Ayañca dasasa­has­siloka­dhātu saṅkampi sampakampi sampavedhi, appamāṇo ca uḷāro obhāso loke pāturahosi atikkamma devānaṃ devānubhāvanti.
Atha kho bhagavā imaṃ udānaṃ udānesi: “aññāsi vata bho, koṇḍañño, aññāsi vata bho, koṇḍañño”ti. Iti hidaṃ āyasmato koṇḍaññassa “aññāsikoṇḍañño” tveva nāmaṃ ahosīti.

“‘Ini adalah kebenaran mulia penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia penderitaan harus dipahami sepenuhnya’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia penderitaan telah dipahami sepenuhnya’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah kebenaran mulia asal-mula penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia asal-mula penderitaan harus ditinggalkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia asal-mula penderitaan telah ditinggalkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah kebenaran mulia lenyapnya penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia lenyapnya penderitaan harus direalisasikan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia lenyapnya penderitaan telah direalisasikan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dikembangkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan telah dikembangkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“Selama, para bhikkhu, pengetahuanKu dan penglihatanKu pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini belum sepenuhnya dimurnikan dengan cara ini, Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada taranya di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika pengetahuanKu dan penglihatanKu pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini telah sepenuhnya dimurnikan dengan cara ini, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada taranya di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘Kebebasan batinKu tidak tergoyahkan. Ini adalah kelahiranKu yang terakhir. Tidak akan ada lagi penjelmaan baru.’”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Bersuka cita, Kelompok Lima Bhikkhu itu gembira mendengar penjelasan Sang Bhagavā. Dan selagi khotbah ini sedang dibabarkan, muncullah pada Yang Mulia Kondañña penglihatan Dhamma tanpa noda, bebas dari debu: “Apa pun yang tunduk pada kemunculan, semuanya tunduk pada kelenyapan.”
Dan ketika Roda Dhamma ini telah diputar oleh Sang Bhagavā, para deva yang bertempat tinggal di bumi berseru: “Di Bārāṇasī, di Taman Rusa di Isipatana, Roda Dhamma yang tiada taranya telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia.” Setelah mendengar seruan para deva yang bertempat tinggal di bumi, para deva di alam Empat Raja Deva berseru: “Di Bārāṇasī … Roda Dhamma yang tiada taranya telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan … oleh siapa pun di dunia.” Setelah mendengar seruan para deva di alam Empat Raja Deva, para deva Tāvatiṃsa … para deva Yāma … para deva Tusita … para deva Nimmānaratī … para deva Paranimmitavasavattī … para deva kumpulan Brahmā berseru: “Di Bārāṇasī, di Taman Rusa di Isipatana, Roda Dhamma tanpa banding telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia.”
Demikianlah pada saat itu, seketika itu, pada detik itu, seruan itu menyebar hingga sejauh alam brahmā, dan sepuluh ribu sistem dunia ini berguncang, bergoyang, dan bergetar, dan cahaya agung yang tanpa batas muncul di dunia melampaui keagungan surgawi para deva.
Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan ucapan inspiratif ini: “Koṇḍañña sungguh telah mengerti! Koṇḍañña sungguh telah mengerti!” Demikianlah Yang Mulia Koṇḍañña memperoleh nama “Aññā Koṇḍañña—Koṇḍañña Yang Telah Mengerti.”


Sang Buddha setelah menemukan jalan tengah dan memahami tentang 4 kebenaran mulia langsung  mendapat pengetahuan dan pemahaman sehingga bisa mencapai pencerahan yang tiada taranya di dunia ini.  Setelah pembabaran khotbah ini kondanna langsung mencapai tingkat kesucian pertama dan langsung minta ditahbiskan menjadi bhikkhu kepada sang Buddha dan bhikkhu kondanna disebut dengan anna kondanna atau kondanna yang telah mengerti.