PENDAHULUAN
Riwayat Hidup Buddha Gotama yang dipaparkan
di bawah ini hanyalah merupakan garis besar dari kehidupan Beliau dari
kelahiran-Nya sebagai Pangeran Siddhattha sampai Parinibbana
(kemangkatan mutlak), serta beberapa peristiwa penting dalam kronologi
pembabaran Dhamma oleh-Nya.
KELAHIRAN BODHISATTA
Seorang Pangeran dilahirkan pada bulan purnama penuh di bulan Vesak (antara bulan Mei dan Juni) di sebuah hutan pohon sala ( shorea robusta )
taman bernama Lumbini di Kapilavatthu, India Utara (sekarang Nepal)
pada sekitar abad ke-6 S.M (secara tradisional tahun 623 S.M. dan
berdasarkan pada penanggalan "sejarah" pada tahun 563 S.M).
Ayahnya adalah Raja Suddhodana seorang bangsawan dari dinasti Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahamaya seorang putri kerajaan dari dinasti Koliya.
Pada hari yang sama, lahir pula: Putri Yasodhara yang
kelak menjadi isteri Sang Pangeran, Pangeran Ananda yang kelak menjadi
pembantu tetap Sang Buddha, Channa tang kelak menjadi kusir Sang Pangeran,
Kanthaka yang kelak menjadi kuda Sang Pangeran, Menteri Kaludayi yang
kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu,
Pohon Pippala atau disebut Pohon Bodhi
( Ficus Religiosa ), dan munculnya empat jambangan harta
( Nidhikumbhi ).
Kelahiran sang pangeran membawa kebahagiaan
bagi seluruh kerajaan termasuk seorang petapa bernama Asita yang dikenal
juga sebagai Kaladevala yang merupakan guru pribadi raja. Asita segera
berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut. Ketika
Petapa Asita telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang
Mahapurisa (Manusia Agung) pada bayi tersebut, ia memberikan hormat.
Melihat hal ini Raja pun turut memberi penghormatan kepada putranya.
Setelah itu Petapa Asita tertawa gembira
tetapi kemudian ia menangis. Hal ini karena ia merasa bahagia karena
Pangeran kelak akan menjadi seorang Buddha, tetapi ia juga bersedih
karena ia tidak bisa mendengarkan ajarannya karena usianya yang sudah
tua dan ia tidak bisa menunggu bayi tersebut dewasa.
UPACARA PEMBERIAN NAMA
Lima hari setelah Sang Pangeran lahir, Ia diberi nama Siddhattha (dalam bahasa Pali) atau Siddhartha (dalam bahasa Sanskerta) yang berarti Tercapailah Segala Cita-cita-Nya, dan dengan nama keluarga Gotama (dalam bahasa Pali) atau Gautama (dalam bahasa Sanskerta).
Menurut tradisi India kuno maka diadakan
upacara pemberian nama dengan mengundang para brahmana terpelajar. Di
antara 108 brahmana yang diundang terdapat delapan brahmana yang
terkemuka. Tujuh di antara mereka meramalkan ada dua kemungkinan bahwa
Pangeran akan menjadi Raja Dunia atau menjadi seorang Buddha jika Ia
melihat empat peristiwa, yaitu: orang tua, orang sakit, orang mati, dan
petapa suci. Tetapi Kondanna, satu dari kedelapan brahmana itu, dan yang
paling muda memastikan bahwa hanya ada satu kemungkinan yaitu Pangeran
akan menjadi seorang Buddha.
WAFATNYA RATU MAHAMAYA
Pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhattha , Ratu Mahamaya wafat, dan adiknya Maha Pajapati Gotami yang juga isteri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Maha Maya sebagai ratu sekaligus ibu bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Maha Pajapati Gotami melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari Nanda ( Rupananda ).
Maha Pajapati Gotami merawat Pangeran Siddhattha seperti merawat putranya sendiri Pangeran Nanda . Pangeran Nanda sendiri lahir beberapa hari setelah Pangeran Siddhattha lahir.
Setelah Ratu Maha Maya wafat, ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Mayadevaputta (Santusita) di surga Tusita .
FESTIVAL MEMBAJAK TANAH
Dalam rangka meningkatkan pertanian, Raja Suddhodana mengadakan festival pembajakan tanah dan mengajak pergi Pangeran Siddhattha yang telah berusia beberapa tahun ke perayaan tersebut. Dan Raja pun turut membajak bersama-sama dengan para petani.
Pada saat perayaan yang berlangsung meriah,
para pengasuh yang ditugaskan untuk menjaga Pangeran merasa sangat
tertarik dengan jalannya perayaan tersebut. Mereka ingin menyaksikannya
dan akhirnya meninggalkan Pangeran di bawah bayangan pohon jambu. Dan
pada saat itu suasana di sekitar pohon jambu tesebut menjadi tenang dan
sepi sehingga sesuai untuk meditasi. Pangeran kecil pun duduk bersila
dan melakukan meditasi.
Ketika para pengasuh kembali, mereka merasa heran sekali
melihat Pangeran sedang bermeditasi, dan dengan cepat mereka melaporkannya
kepada Raja. Raja dengan diiringi oleh para petani berbondong-bondong
datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Dan mereka pun menemukan
Pangeran sedang duduk bermeditasi dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang
yang datang memperhatikannya. Hal itu terjadi karena pada saat itu Pangeran
berada dalam keadaan Jhana, yaitu keadaan dimana kesadaran sedang berkonsentrasi
secara penuh. Melihat hal itu Raja memberi hormat untuk kedua kalinya
kepada putranya tersebut.
MASA KANAK-KANAK DAN PENDIDIKAN
Semasa kecil, Pangeran Siddhattha hidup dalam kemewahan
dan dirawat oleh para pengasuh sebaik mungkin. Seluruh pengiring-Nya
muda-muda, berpenampilan menarik, cantik, tampan, dan berbadan lengkap.
Jika ada yang sakit, maka orang itu tidak diijinkan tinggal di istana
dan akan digantikan oleh orang lain. Sang pangeran di kenakan beraneka
ragam perhiasan, kalung bunga, minyak wangi dan pernak-pernik yang semerbak.
Tutup kepala, jubah, dan mantel-Nya seluruhnya didatangkan dari Negara
Kasi. Untuk menyenangkan hati Pangeran Siddhattha, Raja Suddhodana membuatkannya
tiga kolam teratai di istananya, yaitu Kolam Uppala dengan teratai birunya,
Kolam Paduma dengan teratai merahnya, dan Kolam Pundarika dengan teratai
putihnya.
Ketika Pangeran Siddhattha berusia tujuh tahun, Ia
mulai menjalani pendidikan-Nya. Kedelapan brahmana terkemuka, yang dahulu
diundang raja untuk meramalkan masa depan pangeran, menjadi guru-guru-Nya
yang pertama. Setelah guru-guru tersebut mengajarkan semua pengetahuannya
kepada pangeran, Raja Suddhodana mengutus-Nya untuk berguru kepada guru
lain bernama Sabbamitta. Brahmana Sabbamitta yang tinggal di daerah
Udicca, berasal dari keturunan terkemuka dan ahli dalam bahasa dan tata
bahasa, serta fasih dalam Kitab Veda dan keenam Vedanga yang terdiri
dari ilmu fonetik, ilmu persajakan, tata bahasa, ilmu tafsir, ilmu perbintangan,
dan upacara keagamaan.
Sang Pangeran mampu mempelajari semua mata pelajaran
yang Ia terima dari guru-Nya, termasuk ilmu kemiliteran, bela diri seperti
tinju, gulat, anggar, dan berkuda. Ia adalah siswa yang terpandai dan
terbaik dalam segala hal bahkan menjadi lebih pandai dari guru-guru-Nya.
Ia adalah siswa yang paling bijak dan satu-satunya yang banyak bertanya
kepada para guru dan kakak seperguruanNya. Ia juga anak yang terkuat,
tertinggi, dan tertampan di kelas. Meskipun Pangeran Siddhattha adalah
siswa yang terpandai, Ia tidak pernah lalai dalam bersikap santun dan
memberikan penghormatan yang sepantasnya terhadap guru-guru-Nya.
Bodhisatta tidak pernah menyia-nyiakan waktu.
Ketika Ia sedang tidak ada pekerjaan, Ia akan menyendiri di tempat yang
tenang dan berlatih meditasi. Dan meskipun Ia juga terlatih dalam seni
memanah dan dalam pemakaian senjata, tetapi Ia tidak suka melukai
makhluk lain. Ia juga menghindari pembunuhan atau penganiayaan hewan
jinak sekalipun, seperti kelinci dan kijang.
WELAS ASIH SANG PANGERAN
Sifat welas asih Pangeran Siddhattha tercermin dalam
kehidupan sehari-hari-Nya seperti menghentikan dan menasihati seorang
pelayan-Nya yang sedang memukuli seekor ular dengan tongkat.
Pada kesempatan lainnya, ketika pangeran sedang beristirahat
di bawah pohon dalam waktu bermainnya bersama sahabat-sahabat-Nya dan
juga sepupunya, Pangeran Devadatta, Ia tiba-tiba melihat seekor angsa
jatuh dari angkasa. Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa
tersebut. Dengan segera Pangeran Siddhattha menolong si angsa. Pangeran
Devadatta juga mengejar angsa itu, namun Pangeran Siddhattha berhasil
terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak
panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.
Pangeran Devadatta yang baru saja tiba
menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha
menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran
Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang
memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang
berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan
si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut. Akhirnya
Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke makamah
para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa
tersebut.
Setelah diajukan ke makamah para bijak,
akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru, �Semua makhluk
patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup.
Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya.
Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran
Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya,
yaitu Pangeran Siddhattha!�
PERNIKAHAN
Kekhawatiran Raja Suddhodana terhadap apa
yang dikatakan oleh Petapa Asita dan terhadap ramalan Brahmana Kondanna
mengenai Pangeran Siddhattha, berusaha membuat anaknya tersebut merasa
nyaman dan bahagia. Segala hal-hal yang buruk dijauhkan dari diri
anaknya termasuk hal-hal mengenai sakit, tua, mati, dan petapa. Selain
itu raja juga membangun tiga buah istana untuk putranya pada setiap
musimnya � Istana Ramma untuk musim dingin, Istana Suramma untuk musim
panas, Istana Subha untuk musim hujan.
Pada saat itu Pangeran Siddhattha berusia enam belas
tahun, Ia tumbuh sebagai seorang pria muda yang tampan dan perkasa.
Namun perangai-Nya yang suka merenung serta welas asih-Nya yang tanpa
batas semakin jelas. Hal ini sangat membuat raja khawatir dan memanggil
para penasihat istana untuk menemukan jawaban agar sang pangeran tetap
mewarisi singgahsananya daripada menjadi seorang Buddha. Dan akhirnya
diputuskan untuk mencari gadis tercantik dan menikahkannya dengan pangeran.
Kemudian Raja Suddhodana memerintahkan untuk mengirim berita kepada
delapan puluh ribu kerabat Sakya-nya dan meminta mereka untuk memperkenankan
putri-putri mereka untuk datang ke istana agar pangeran dapat memilih
salah satunya sebagai isteri.
Berita pemilihan isteri tersebut ditanggapi negatif
oleh para pangeran Sakya yang beranggapan bahwa Pangeran Siddhattha
tidak memiliki kemampuan sebagai seorang ksatria dan seorang pengecut
yang tidak memiliki kemampuan seni bela diri dan seni berburu untuk
melindungi dan mencari nafkah keluarganya kelak. Menanggapi hal ini
Raja Suddhodana merasa sangat tersinggung dan menemui putranya serta
menceritakan permasalahannya. Pangeran lalu berkata bahwa Ia akan mempertunjukkan
kemahiran-Nya dalam pertandingan apapun, termasuk panahan dihadapan
semua pangeran dan putri Sakya.
Dalam pertandingan, Pangeran Siddhattha akhirnya dapat
mengalahkan semua lawannya dalam segala pertandingan. Dengan ini para
pangeran dan putri Sakya akhirnya bergembira mengetahui hasilnya, sekaligus
merasa tegang siapa yang akan dipilih pangeran untuk menjadi isteri-Nya.
Akhirnya pilihan Pangeran Siddhattha jatuh pada Putri Yasodharã,
sepupu-Nya yang cantik, putri Raja Suppabuddha dari kerajaan Koliya
dan Ratu Amita, saudara perempuan Raja Suddhodana.
MELIHAT PERISTIWA AGUNG PERTAMA: ORANG TUA
Memasuki usiaNya yang kedua puluh delapan tahun, Pangeran
Siddhattha tidak lagi merasa senang akan segala kemewahan dan hiburan
di sekelilingNya. Ia menjadi jenuh dan ingin melihat dunia luar. Ia
merasa penasaran untuk mengetahui kehidupan rakyat dan hal-hal di luar
tembok istana. Setelah mendapatkan ijin dari ayahNya, Ia akhirnya keluar
istana ditemani oleh Channa, kusir-Nya. Orang-orang ramai berdiri di
kedua sisi jalan dan menyambut-Nya dengan hangat. Semuanya terasa semarak
dan indah karena telah diperintahkan oleh raja untuk menyingkirkan hal-hal
yang buruk dari tempat yang akan dilalui oleh pangeran.
Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki
tua melintas di sepanjang jalan tanpa sempat dicegah. Sang pangeran
sangat terkejut dengan apa yang tampak oleh-Nya. Ia sangat terkesima
dan tidak mengetahui apa yang tengah dilihat-Nya, dan Ia bertanya kepada
kusir-Nya, Channa, apa yang telah dilihatNya itu. Channa menjelaskan
bahwa itu disebut dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama
lagi, dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa
dicegah. Pangeran Siddhattha segera memerintahkan Channa untuk kembali
ke istana karena Ia menjadi tidak bergairah lagi untuk berkeliling kota
. Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya oleh apa yang dilihat-Nya.
Ia berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya, ibu angkat-Nya,
dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin tahu apakah
ada yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.
Mendengar apa yang terjadi pada putranya,
raja menjadi khawatir dan sedih. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk
menambah penjaga di sekitar tempat itu dan untuk menambah pelayan wanita
dan gadis penari untuk menghibur sang pangeran sepanjang waktu.
MELIHAT PERISTIWA AGUNG KEDUA: ORANG SAKIT
Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha sekali lagi
memohon kepada ayah-Nya untuk keluar istana. Namun Ia tidak ingin kunjungannya
diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk
kehidupan sehari-hari rakyat-Nya. Raja Suddhodana mengijinkan-Nya dengan
berat hati karena masih merasa gundah terhadap apa yang terjadi selama
kunjungan pertama pangeran. Namun, karena cinta dan kasihnya kepada
putranya, ia mengijinkan pangeran melakukan kunjungan untuk kedua kalinya.
Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa, pangeran
menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki melihat-lihat
kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan, panji-panji
ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya sendiri
untuk mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba
terdengar suara seorang lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan.
Pangeran mencari sumber suara itu dan menemukan seorang lelaki yang
sedang berbaring di tanah sambil memegang perutnya dan berguling-guling
kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-noda hitam. Ia berusaha memohon
pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang
menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua
kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran segera mendekati orang itu,
tanpa bisa dicegah oleh Channa. Pangeran yang memangku kepala orang
itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang terjadi, namun tanpa
sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya pangeran bertanya
kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa
orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami
hal itu. Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui
semua fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali
ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.
Setelah mengetahui apa yang telah terjadi
selama kunjungan pangeran dari Channa, Raja Suddhodana kembali menjadi
sedih dan memerintahkan kembali untuk memperbanyak penjaga dan jumlah
pelayan dan gadis penari.
MELIHAT PERISTIWA AGUNG KETIGA: ORANG MATI
Dengan menikmati kesenangan dan kemewahan hidup istana
setelah kunjungan kedua, perasaan desakan spiritual yang dirasakan-Nya
menjadi sedikit berkurang. Tetapi sekitar empat bulan kemudian, Pangeran
Siddhattha kembali memohon untuk keluar dari istana untuk melihat kotanya
kembali lebih dekat. Dengan berat hati raja pun mengijinkannya.
Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai
pemuda dari keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga
berpakaian berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan,
tampak oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut
mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus
kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang
yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai
orang yang terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan
bahwa orang itu telah mati, semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.
Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi tanpa
seorang pun mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh
hati pangeran selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha
tidak lagi bergairah meneruskan kunjungan-Nya. Diiringi oleh Channa,
dengan diam Ia kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia
duduk dan merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam
hati Ia berkata: �Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati
dan tak seorang pun mampu mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi
hal ini. Akan Kucari cara agar ayah, ibu, Yasodhara, dan semua kerabat-Ku
yang tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan mati.�
Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa
pangeran buru-buru pulang setelah melihat mayat. Mendengar hal ini raja
kembali menjadi sedih. Walaupun ia telah berusaha sekuatnya untuk
mencegah putranya agar tidak melihat hal-hal yang tidak menyenangkan,
penampakan yang tak terduga terjadi untuk ketiga kalinya sebagaimana
yang diramalkan oleh kedelapan brahmana.
MELIHAT PERISTIWA AGUNG KEEMPAT: PETAPA
Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan merenungkan
ketiga pemandangan yang telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke kota
. Namun, karena merasa belum puas dengan apa yang telah Ia ketahui sekarang,
Ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain
kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya. Sementara itu Raja
Suddhodana senantiasa berusaha menyenangkan dan mengalihkan pikiran
pangeran dari ketiga peristiwa tersebut. Untuk beberapa bulan, usaha
raja nampak berhasil. Tetapi sifat ingin tahu dan suka merenung dari
pangeran tidak mudah tergoyahkan oleh sumua hiburan yang ada dalam istana.
Dan Empat bulan kemudian, Ia kembali memohon kepada ayah-Nya untuk diperkenankan
keluar istana lagi untuk berwisata ke taman kerajaan dan melihat sisi
lain dari kehidupan. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak
permohonan santun putranya itu.
Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman
istana melalui Kota Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika
pangeran tengah duduk dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya
seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan.
Dan pangeran pun bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa
menjawab bahwa oran itu adalah seorang petapa, seseorang yang
meninggalkan kehidupan berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk
mengetahui lebih lanjut siapa petapa itu. Bagi-Nya, petapa itu tampak
mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa
tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya
mengenai diri petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal
dirinya.
Setelah pangeran mendengar penjelasan prihal
diri petapa tersebut, bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia menemukan
jalan kebahagiaan atas dirinya, pangeran merasa bahagia dan menyadari
bahwa adanya jalan sejati untuk mengatasi penderitaan hidup.
LAHIRNYA RÃHULA
Ketika Pangeran Siddhattha masih di dalam taman dan
benak-Nya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup bersih dan murni sebagai
petapa, seorang kurir kerajaan yang diutus oleh Raja Suddhodana mengabarkan
bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan.
Mendengar kabar ini, pangeran justru bersedih hati dan berujar: �Sebuah
belenggu telah terlahir bagi-Ku; ikatan besar telah timbul bagi-Ku (
Rãhulajãto, bandhanam jãtam )!� Kelahiran
tersebut merupakan halangan karena ia mencintai keluarga dan anak-Nya
yang baru lahir. Ia berpendapat bahwa kemelekatan pada keluarga dan
putra-Nya akan merintangi niat-Nya untuk menjadi petapa, seperti yang
Ia inginkan. Mengetahui apa yang diutarakan pangeran saat menerima berita
itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama bayi itu �Rãhula�,
yang berarti �belenggu�.