Ekaṃ samayaṃ bhagavā
bārāṇasiyaṃ viharati isipatane migadāye. Tatra kho bhagavā pañcavaggiye bhikkhū
āmantesi:
“Dveme, bhikkhave,
antā pabbajitena na sevitabbā. Katame dve? Yo cāyaṃ kāmesu kāmasukhallikānuyogo
hīno gammo pothujjaniko anariyo anatthasaṃhito, yo cāyaṃ attakilamathānuyogo
dukkho anariyo anatthasaṃhito. Ete kho, bhikkhave, ubho ante anupagamma majjhimā
paṭipadā tathāgatena abhisambuddhā cakkhukaraṇī ñāṇakaraṇī upasamāya abhiññāya
sambodhāya nibbānāya saṃvattati.
Demikianlah yang
kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasī di Taman
Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Kelompok Lima
Bhikkhu sebagai berikut:
“Para bhikkhu, dua
ekstrim ini tidak boleh diikuti oleh seorang yang telah meninggalkan kehidupan
rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah dua ini? Mengejar
kebahagiaan indria dalam kenikmatan indria, yang rendah, kasar, cara-cara kaum
duniawi, tidak mulia, tidak bermanfaat; dan mengejar penyiksaan diri, yang
menyakitkan, tidak mulia, tidak bermanfaat. Tanpa berbelok ke arah salah satu
dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata telah membangkitkan jalan tengah, yang
memunculkan penglihatan, yang memunculkan pengetahuan, yang menuntun menuju
kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.
Dhammacakkhapavatana sutta atau khotbah pemutaran roda
dhamma pertama kalinya dibabarkan di Taman Rusa Isipatana di bulan Asalha.
Pembabaran Dhammacakkhapavatana sutta biasa diperingati sebagai hari raya
Asadha. Dhammacakkhapavatana sutta dibabarkan kepada 5 orang pertapa yaitu:
Asaji, Vappa, Bhadiya, Mahanama, dan Kondanna. Pada khotbah ini sang Buddha
membabarkan tentang 2 jalan ekstrim yang tidak boleh diikuti oleh orang yang
telah meninggalkan keduniawian yaitu:
1.
Memuaskan nafsu indrawi
2.
Menyiksa diri yang berlebihan
Sang Buddha telah menemukan jalan tengah yang bisa membawa
kita menuju pencerahan tertinggi yaitu Nibbana. Kehidupan kita ini bagaikan
senar kecapi dan latihan yang kita jalankan sebagai tarikan pada senar kecapi. Bagaikan
senar kecapi yang ditarik terlalu pelan (selalu memuaskan nafsu indrawinya)
maka senar tersebut tidak akan menghasilkan suara,tetapi jika senar tersebut
ditarik terlalu kencang maka senar tersebut akan putus dan tidak akan bisa
menghasilkan suara,kita harus bisa menyesuaikan tarikan tersebut agar bisa
menghasilkan suara yang indah.
Katamā ca sā,
bhikkhave, majjhimā paṭipadā tathāgatena abhisambuddhā cakkhukaraṇī ñāṇakaraṇī
upasamāya abhiññāya sambodhāya nibbānāya saṃvattati? Ayameva ariyo aṭṭhaṅgiko
maggo, seyyathidaṃ—sammādiṭṭhi sammāsaṅkappo sammāvācā sammākammanto sammāājīvo
sammāvāyāmo sammāsati sammāsamādhi. Ayaṃ kho sā, bhikkhave, majjhimā paṭipadā
tathāgatena
abhisambuddhā cakkhukaraṇī ñāṇakaraṇī upasamāya abhiññāya
sambodhāya nibbānāya saṃvattati.
“Dan apakah, para
bhikkhu, jalan tengah yang telah dibangkitkan oleh Sang Tathāgata itu, yang
memunculkan penglihatan … yang menuntun menuju Nibbāna? Adalah Jalan Mulia
Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar,
perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi
benar. Ini, para bhikkhu, adalah jalan tengah yang telah dibangkitkan oleh Sang
Tathāgata itu, yang memunculkan penglihatan, yang memunculkan pengetahuan, yang
menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan,
menuju Nibbāna.
Sang Buddha juga menjelaskan tentang jalan tengah yang telah
ditemukannya yang bisa menuntun ke Nibbana. Apakah jalan yang bisa membawa ke
Nibbana? Jalan tersebut adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu:
1.
Pandagan Benar
2.
Pikiran Benar
3.
Ucapan Benar
4.
Perbuatan Benar
5.
Penghidupan Benar
6.
Daya Upaya Benar
7.
Perhatian Benar
8.
Konsentrasi Benar
8 Jalan itulah yang bisa membawa semua mahkluk menuju
Nibbana apabila sudah dipahami dan dipraktekan.
Idaṃ kho pana,
bhikkhave, dukkhaṃ ariyasaccaṃ—jātipi dukkhā, jarāpi dukkhā, byādhipi dukkho,
maraṇampi dukkhaṃ, appiyehi sampayogo dukkho, piyehi vippayogo dukkho,
yampicchaṃ na labhati tampi dukkhaṃ—saṃkhittena pañcupādānakkhandhā dukkhā.
Idaṃ kho pana, bhikkhave, dukkhasamudayaṃ ariyasaccaṃ—yāyaṃ taṇhā ponobbhavikānandirāgasahagatā
tatratatrābhinandinī, seyyathidaṃ—kāmataṇhā, bhavataṇhā, vibhavataṇhā.
Idaṃ kho pana, bhikkhave, dukkhanirodhaṃ ariyasaccaṃ—yo tassāyeva taṇhāya asesavirāganirodho
cāgo paṭinissaggo mutti anālayo. Idaṃ kho pana, bhikkhave, dukkhanirodhagāminī
paṭipadā ariyasaccaṃ— ayameva ariyo aṭṭhaṅgiko maggo, seyyathidaṃ—sammādiṭṭhi …
pe … sammāsamādhi.
‘Idaṃ dukkhaṃ
ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ
udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ dukkhaṃ
ariyasaccaṃ pariññeyyan’ti me, bhikkhave, pubbe … pe … udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ
dukkhaṃ ariyasaccaṃ pariññātan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu
cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi.
‘Idaṃ dukkhasamudayaṃ
ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ
udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ dukkhasamudayaṃ
ariyasaccaṃ pahātabban’ti me, bhikkhave, pubbe … pe … udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ
dukkhasamudayaṃ ariyasaccaṃ pahīnan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu
dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko
udapādi.
‘Idaṃ dukkhanirodhaṃ
ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ
udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ
dukkhanirodhaṃ ariyasaccaṃ sacchikātabban’ti me, bhikkhave, pubbe … pe …
udapādi. ‘Taṃ kho panidaṃ dukkhanirodhaṃ ariyasaccaṃ sacchikatan’ti me,
bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā
udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi.
‘Idaṃ dukkhanirodhagāminī
paṭipadā ariyasaccan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu cakkhuṃ
udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi. ‘Taṃ kho
panidaṃ dukkhanirodhagāminī paṭipadā ariyasaccaṃ bhāvetabban’ti me,
bhikkhave, pubbe … pe … udapādi.
‘Taṃ kho panidaṃ dukkhanirodhagāminī
paṭipadā ariyasaccaṃ bhāvitan’ti me, bhikkhave, pubbe ananussutesu dhammesu
cakkhuṃ udapādi, ñāṇaṃ udapādi, paññā udapādi, vijjā udapādi, āloko udapādi.
“Sekarang ini, para
bhikkhu, adalah kebenaran mulia penderitaan: kelahiran adalah penderitaan,
penuaan adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah
penderitaan; berkumpul dengan apa yang tidak menyenangkan adalah penderitaan;
berpisah dengan apa yang menyenangkan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa
yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan
yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan.
“Sekarang ini, para
bhikkhu, adalah kebenaran mulia asal-mula penderitaan: adalah ketagihan yang
menuntun menuju penjelmaan baru, disertai dengan kesenangan dan nafsu, mencari
kenikmatan di sana-sini; yaitu, ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan
pada penjelmaan, ketagihan pada pemusnahan.
“Sekarang ini, para
bhikkhu, adalah kebenaran mulia lenyapnya penderitaan: adalah peluruhan tanpa
sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, meninggalkan dan melepaskannya,
kebebasan darinya, tidak bergantung padanya.
“Sekarang ini, para
bhikkhu, adalah kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan: adalah
Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.
Dan Sang Buddha membabarkan tentang 4 kebenaran mulia yaitu
:
1.
Kebenaran mulia tentang penderitaan, yaitu:
kelahiran, penuaan, sakit, kematian, berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah
dengan yang dicintai, tidak mendapat apa yang diinginkan. Penderitaan atau
dukkha dibagi menjadi 3 garis besar, yaitu:
·
Penderitaan biasa (Dukkha Dukkha)
·
Penderitaan karena perubahan (Viparinama Dukkha)
·
Penderitaan karena kondisi yang bersyarat
(Sankhara Dukkha)
2.
Kebenaran mulia tentang asal-mula penderitaan,
yaitu: Nafsu keinginan yang rendah (Tanha). Tanha dibagi menjadi 3, yaitu:
·
Nafsu keinginan untuk memuaskan indrawi (Kama
Tanha)
·
Nafsu keinginan untuk terlahir kembali (Bhava
Tanha)
·
Nafsu keinginan untuk tidak terlahir kembali
(Vibhava Tanha)
3.
Kebenaran mulia tentang akhir penderitaan,
yaitu: Padamnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin atau bisa disebut
Nibbana. Nibbana dibagi menjadi 2, yaitu:
·
Nibbana yang masih menyisakan 5 kelompok
kehidupan (Sa-Upadisesa Nibbana)
·
Nibbana yang tidak menyisakan 5 kelompok
kehidupan (An-Upadisesa Nibbana)
4.
Kebenaran mulia tentang jalan menuju akhir
dukkha, yaitu: Memahami dan mempraktekan jalan mulia berunsur delapan. Jalan
mulia berunsur delapan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kemoralan, konsentrasi,
dan kebijaksanaan. Dari 3 Kelompok besar tersebut dibagi menjadi delapan,
yaitu:
·
Kelompok Kemoralan:
1.
Ucapan Benar
2.
Pebuatan Benar
3.
Mata Pencaharian Benar
·
Kelompok Konsentrasi:
1.
Daya Upaya / Usaha Benar
2.
Perhatian Benar
3.
Konsentrasi Benar
·
Kelompok Kebijaksanaan:
1.
Pandangan Benar
2.
Pikiran Benar
Yāvakīvañca me,
bhikkhave, imesu catūsu ariyasaccesu evaṃ tiparivaṭṭaṃ dvādasākāraṃ yathābhūtaṃ
ñāṇadassanaṃ na suvisuddhaṃ ahosi, neva tāvāhaṃ, bhikkhave, sadevake loke
samārake sabrahmake sassamaṇabrāhmaṇiyā pajāya sadevamanussāya ‘anuttaraṃ
sammāsambodhiṃ abhisambuddho’ti paccaññāsiṃ.
Yato ca kho me,
bhikkhave, imesu catūsu ariyasaccesu evaṃ tiparivaṭṭaṃ dvādasākāraṃ yathābhūtaṃ
ñāṇadassanaṃ suvisuddhaṃ ahosi, athāhaṃ, bhikkhave, sadevake loke samārake
sabrahmake sassamaṇabrāhmaṇiyā pajāya sadevamanussāya ‘anuttaraṃ
sammāsambodhiṃ abhisambuddho’ti paccaññāsiṃ. Ñāṇañca pana me dassanaṃ udapādi:
‘akuppā me vimutti, ayamantimā jāti, natthi dāni punabbhavo’”ti. Idamavoca
bhagavā. Attamanā pañcavaggiyā bhikkhū bhagavato bhāsitaṃ abhinandunti.
Imasmiñca pana veyyākaraṇasmiṃ
bhaññamāne āyasmato koṇḍaññassa virajaṃ vītamalaṃ dhammacakkhuṃ udapādi: “yaṃ
kiñci samudayadhammaṃ sabbaṃ taṃ nirodhadhamman”ti.
Pavattite ca pana
bhagavatā dhammacakke bhummā devā saddamanussāvesuṃ: “etaṃ bhagavatā bārāṇasiyaṃ
isipatane migadāye anuttaraṃ dhammacakkaṃ pavattitaṃ appaṭivattiyaṃ samaṇena vā
brāhmaṇena vā devena vā mārena vā brahmunā vā kenaci vā lokasmin”ti. Bhummānaṃ
devānaṃ saddaṃ sutvā cātumahārājikā devā saddamanussāvesuṃ: “etaṃ bhagavatā
bārāṇasiyaṃ isipatane migadāye anuttaraṃ dhammacakkaṃ pavattitaṃ, appaṭivattiyaṃ
samaṇena vā brāhmaṇena vā devena vā mārena vā brahmunā vā kenaci vā
lokasmin”ti. Cātumahārājikānaṃ devānaṃ saddaṃ sutvā tāvatiṃsā devā … pe …
yāmā devā … pe … tusitā devā … pe … nimmānaratī devā … pe … paranimmitavasavattī
devā … pe … brahmakāyikā devā saddamanussāvesuṃ: “etaṃ bhagavatā bārāṇasiyaṃ
isipatane migadāye anuttaraṃ dhammacakkaṃ pavattitaṃ appaṭivattiyaṃ samaṇena vā
brāhmaṇena vā devena vā mārena vā brahmunā vā kenaci vā lokasmin”ti.
Itiha tena khaṇena tena
layena tena muhuttena yāva brahmalokā saddo abbhuggacchi. Ayañca dasasahassilokadhātu
saṅkampi sampakampi sampavedhi, appamāṇo ca uḷāro obhāso loke pāturahosi
atikkamma devānaṃ devānubhāvanti.
Atha kho bhagavā imaṃ
udānaṃ udānesi: “aññāsi vata bho, koṇḍañño, aññāsi vata bho, koṇḍañño”ti. Iti
hidaṃ āyasmato koṇḍaññassa “aññāsikoṇḍañño” tveva nāmaṃ ahosīti.
“‘Ini adalah
kebenaran mulia penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan
hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan,
pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia
penderitaan harus dipahami sepenuhnya’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan
dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu
penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia
penderitaan telah dipahami sepenuhnya’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan
dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu
penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah
kebenaran mulia asal-mula penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan
dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu
penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia asal-mula
penderitaan harus ditinggalkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan
hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan,
pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia
asal-mula penderitaan telah ditinggalkan’: demikianlah, para bhikkhu,
sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah
padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah
kebenaran mulia lenyapnya penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan
dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu
penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia
lenyapnya penderitaan harus direalisasikan’: demikianlah, para bhikkhu,
sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah
padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia
lenyapnya penderitaan telah direalisasikan’: demikianlah, para bhikkhu,
sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah
padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah
kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu,
sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah
padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia
jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dikembangkan’: demikianlah, para
bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya,
muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati,
dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia
jalan menuju lenyapnya penderitaan telah dikembangkan’: demikianlah, para
bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya,
muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati,
dan cahaya.
“Selama, para
bhikkhu, pengetahuanKu dan penglihatanKu pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana
adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini belum sepenuhnya
dimurnikan dengan cara ini, Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan
sempurna yang tiada taranya di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā,
dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan
manusia. Tetapi ketika pengetahuanKu dan penglihatanKu pada Empat Kebenaran
Mulia sebagaimana adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini telah
sepenuhnya dimurnikan dengan cara ini, maka Aku mengaku telah tercerahkan
hingga pencerahan sempurna yang tiada taranya di dunia ini dengan para deva,
Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana,
para deva dan manusia. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘Kebebasan
batinKu tidak tergoyahkan. Ini adalah kelahiranKu yang terakhir. Tidak akan ada
lagi penjelmaan baru.’”
Ini adalah apa yang
dikatakan oleh Sang Bhagavā. Bersuka cita, Kelompok Lima Bhikkhu itu gembira
mendengar penjelasan Sang Bhagavā. Dan selagi khotbah ini sedang dibabarkan,
muncullah pada Yang Mulia Kondañña penglihatan Dhamma tanpa noda, bebas dari
debu: “Apa pun yang tunduk pada kemunculan, semuanya tunduk pada kelenyapan.”
Dan ketika Roda
Dhamma ini telah diputar oleh Sang Bhagavā, para deva yang bertempat tinggal di
bumi berseru: “Di Bārāṇasī, di Taman Rusa di Isipatana, Roda Dhamma yang tiada
taranya telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan oleh
petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia.”
Setelah mendengar seruan para deva yang bertempat tinggal di bumi, para deva di
alam Empat Raja Deva berseru: “Di Bārāṇasī … Roda Dhamma yang tiada taranya
telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan … oleh siapa pun
di dunia.” Setelah mendengar seruan para deva di alam Empat Raja Deva, para
deva Tāvatiṃsa … para deva Yāma … para deva Tusita … para deva Nimmānaratī …
para deva Paranimmitavasavattī … para deva kumpulan Brahmā berseru: “Di Bārāṇasī,
di Taman Rusa di Isipatana, Roda Dhamma tanpa banding telah diputar oleh Sang
Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau deva
atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia.”
Demikianlah pada saat
itu, seketika itu, pada detik itu, seruan itu menyebar hingga sejauh alam
brahmā, dan sepuluh ribu sistem dunia ini berguncang, bergoyang, dan bergetar,
dan cahaya agung yang tanpa batas muncul di dunia melampaui keagungan surgawi
para deva.
Kemudian Sang Bhagavā
mengucapkan ucapan inspiratif ini: “Koṇḍañña sungguh telah mengerti! Koṇḍañña
sungguh telah mengerti!” Demikianlah Yang Mulia Koṇḍañña memperoleh nama “Aññā
Koṇḍañña—Koṇḍañña Yang Telah Mengerti.”
Sang Buddha setelah menemukan jalan tengah dan memahami
tentang 4 kebenaran mulia langsung mendapat pengetahuan dan pemahaman sehingga
bisa mencapai pencerahan yang tiada taranya di dunia ini. Setelah pembabaran khotbah ini kondanna
langsung mencapai tingkat kesucian pertama dan langsung minta ditahbiskan
menjadi bhikkhu kepada sang Buddha dan bhikkhu kondanna disebut dengan anna
kondanna atau kondanna yang telah mengerti.