Pada tahun ke dua puluh setelah mendapat Peneragan Agung, Sang Buddha menaklukkan seorang penyamun ganas bernama Angulimala. Kisahnya adalah sebagai berikut :
Angulimala adalah anak seorang penasehat raja negara Kosala. Ayahnya bernama Bhaggava dan ibunya Mantani. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Hari ia dilahirkan, semua senjata di seluruh negeri, termasuk yang ada di istana, mengeluarkan cahaya gemerlapan. Raja menjadi takut sekali dan keesokan harinya memanggil penasehatnya untuk ditanyakan tentang sebab mengapa semua senjata mengeluarkan cahaya.
Bhaggava menjawab, “Istriku baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki, Baginda.”
Raja Kosala bertanya, “Tetapi, mengapa senjata-senjata itu lalu mengeluarkan cahaya gemerlapan?”
“Baginda, anakku itu kelak akan menjadi seorang penyamun, seorang penyamun yang luar biasa.”
Kembali Raja bertanya, “Apakah ia akan merampok seorang diri atau dengan berkawan?”
Bhaggava menjawab, “ Ia akan bekerja seorang diri, Baginda.”
Raja kemudian berkata, “Kalau begitu, kenapa kita tidak sekarang saja membunuhnya?”
Bhaggava menjawab, “Karena ia akan bekerja seorang diri, maka kita akan dengan mudah dapat menangkapnya.”
Ketika Ahimsaka mencapai umur untuk bersekolah, maka ayahnya mengirimnya ke sebuah sekolah di Takkasila. Ahimsaka merupakan murid yang terkuat, terpintar dan juga yang terpatuh dari semua murid di sekolah tersebut.
Karena itu anak-anak yang lain merasa iri hati kepada Ahimsaka.
Mereka sedikit demi sedikit menghasut guru mereka, sehingga akhirnya guru tersebut juga membenci Ahimsaka.
Setelah selesai belajar di sekolah tersebut, gurunya memanggil Ahimsaka dan berkata, “Sekarang engkau sudah tamat belajar di sekolah ini, tetapi sebelum engkau pulang, terlebih dahulu engkau harus membayar uang sekolah kepadaku.”
“Berapakah yang harus kubayar, Guru?”
“Engkau tidak usah membayar dengan uang. Cukup, jika engkau memberiku seribu buah jari tangan kanan manusia,” jawab gurunya.
Meskipun hal ini sangat sulit sekali, namun sebagai murid yang sangat patuh, Ahimsaka berjanji kepada gurunya untuk melaksanakan apa yang diminta oleh gurunya. Sebelum pergi, gurunya kembali berpesan, “Ingat, jangan membawa dua buah jari tangan dari orang yang sama.”
Sampai hari itu Ahimsaka belum pernah menyakiti orang lain dan karena itu ia tidak tahu bagaimana harus memotong jari orang. Karena ingin mematuhi perintah gurunya, maka Ahimsaka membawa pedangnya dan pergi ke hutan Jalini di negara Kosala. Di hutan itu ia mencegat para pelancong yang lewat, membunuhnya dan mengambil jari tangan kanannya. Sesudah itu ia membuat kalung dari jari-jari tersebut dan menggantung kalung itu di lehernya. Karena kalung dari jari-jari tersebut, ia kemudian mendapat nama baru sebagai Angulimala (Anguli = jari, mala = kalung).
Sekarang Angulimala menjadi seorang pembunuh yang kejam yang ditakuti. Kalau ingin melewati hutan Jalini, para pedagang atau pelancong jalan berkelompok, berdua, berempat, bersepuluh, berdua puluh, dan bertiga puluh. Tetapi, begitu mereka mendengar, “Aku Angulima, jangan lari!” Mereka menggigil dan gemetaran, dan tidak dapat melarikan diri lagi. Dengan mudah Angulimala membunuh orang-orang tersebut dan memotong jari tangan kanannya. Karena itu tidak ada lagi orang yang berani lewat hutan tersebut.
Angulimala kemudian memindahkan tempat kerjanya dan di tempat yang baru ia kembali mencegat dan membunuh orang yang lewat.
Karena itu, Raja Kosala mempersiapkan tentara yang besar untuk menangkap Angulimala. Ibunya, Mantani, mendengar tentang persiapan yang dilakukan Raja Kosala, ia berkata kepada suaminya, “Anak kita yang tercinta sekarang telah menjadi seorang pembunuh. Sekarang Raja sedang membuat persiapan untuk menangkap dan membunuhnya. Apakah kamu tidak dapat pergi menemui anak kita dan membujuknya supaya berhenti membunuh?”
“Istriku tercinta, anak itu sekarang sudah terlalu ganas. Ia mungkin sudah berubah seluruhnya dan kalau aku pergi menemuinya, mungkin aku pun akan dibunuhnya. Aku tidak mau mati percuma.”
Tetapi ibunya adalah seorang wanita yang halus budi pekertinya dan mempunyai hati yang baik. Apalagi ia mencintai anaknya lebih dari dirinya sendiri. Ia pikir, “Aku harus pergi seorang diri ke hutan untuk menyelamatkan anakku.” Kemudian ia berjalan pergi ke hutan dengan membawa bekal makanan seperlunya.
Ketika itu Angulimala sudah membunuh 999 orang. Berbulan-bulan lamanya ia berada di hutan tanpa memperoleh cukup makanan, tidur, mandi, dan pakaian yang bersih. Badannya sudah berbau busuk. Ia benci sekali dengan hidup seperti itu. Tetapi bagaimana pun juga, ia masih harus membunuh seorang lagi untuk memenuhi permintaan gurunya berupa seribu buah jari tangan kanan manusia.
Ia berpikir, “Sekarang, meskipun ibuku sendiri yang datang, aku akan membunuhnya, memotong jari tangannya untuk mencukupi jumlah seribu yang diminta guruku.”
Pagi hari itu, sebagaimana biasa, Sang Buddha melihat ke seluruh penjuru dunia untuk mencari orang yang mungkin dapat ditolong-Nya dalam bidang kerohanian. Ketika itu Sang Buddha melihat Angulimala, yang meskipun sudah jemu dengan perbuatan membunuh dan ingin kembali menjadi orang yang baik, masih kekurangan satu orang lagi yang akan dijadikan korban. Dan korban terakhir ini justru adalah ibunya sendiri.
Karena merasa kasihan, Sang Buddha lalu bertekad untuk menolong Angulimala, ibunya dan juga khalayak ramai. Karena itu, dengan membawa mangkuk-Nya Sang Buddha berjalan menuju ke hutan tempat Angulimala bersembunyi menunggu mangsanya yang terakhir.
Penduduk desa yang melihat Sang Buddha berjalan menuju hutan, berusaha mencegah-Nya dengan mengatakan,
“Bhikkhu, sebaiknya Anda jangan pergi ke hutan itu. Di sana bersembunyi seorang penyamun yang bernama Angulimala. Ia telah membunuh ratusan orang. Ia adalah orang yang kejam, buas, dan jahat. Ia juga pasti akan membunuh Anda. Banyak orang yang sudah meninggalkan rumah dan desanya, sedangkan kami sendiri hari ini juga akan meninggalkan tempat ini, sebab siapa tahu mungkin saja hari ini ia akan datang ke tempat ini. Karena itu, sebaiknya Anda jangan berjalan terus. Kembalilah sekarang juga ke tempat dari mana Anda datang.”
Mereka menasehati Sang Buddha sampai tiga kali. Tetapi Sang Buddha hanya tersenyum, mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan-Nya memasuki hutan.
Ketika itu ibu Angulimala sudah terlebih dahulu memasuki hutan. Angulimala melihat ibunya datang dan berpikir, “Alangkah kasihannya wanita ini. Ia datang seorang diri. Aku memang kasihan kepadanya, tetapi apa yang dapat aku lakukan? Aku harus memegang janjiku dan membunuhnya.”
Ia menghunus pedangnya dan berlari mendekati ibunya. Tiba-tiba Sang Buddha berdiri di antara Angulimala dan ibunya. Angulimala berpikir, “Baik juga pertapa ini berdiri di depan ibuku. Dengan demikian aku tidak usah membunuh ibuku. Aku tidak akan mengganggunya, tetapi membunuh pertapa ini dan memotong jari tangannya.”
Dengan pedang terhunus, ia berlari mendekati Sang Buddha. Sang Buddha berjalan saja dengan tenang. Angulimala berlari-lari untuk menyergap dan membunuh Sang Buddha, tetapi meskipun badannya penuh dengan keringat ia tetap tak dapat menyentuh badan Sang Buddha yang sedang berjalan dengan tenang. Angulimala kemudian menjadi letih, sehingga semua sendi-sendinya merasa sakit sekali dan tidak kuat lagi untuk berlari. Ia berpikir, “Tidak pernah aku seletih ini, meskipun dulu aku berlari-lari menangkap gajah, kuda, kereta perang, rusa atau binatang lainnya. Tetapi sekarang, sungguh mengherankan. Aneh sekali aku tak dapat mengejar pertapa ini.”
Kemudian ia berteriak, “Hai berhenti, berhenti Bhikkhu!”
Sang Buddha menjawab, “Aku berhenti, Angulimala! Tetapi, apakah engkau sendiri berhenti?”
Angulimala tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Sang Buddha dan berpikir, “Seorang bhikkhu tidak boleh bohong. Bhikkhu ini, meskipun berjalan lebih cepat dari aku, mengatakan bahwa ia berhenti. Aku sekarang memang sangat letih. Tentu ada maksud tertentu dalam ucapan tersebut.”
Kemudian ia bertanya kepada Sang Buddha, “Bagaimana Anda mengatakan berhenti, padahal Anda berlari lebih cepat dari Aku?”
Sang Buddha mengucapkan syair seperti di bawah ini :
“Sebagaimana biasa, Angulimala, Aku berhenti,
Karena Aku berbelas kasihan terhadap semua makhluk hidup,
Tetapi kamu tidak mempunyai belas kasihan terhadap makhluk hidup,
Karena itu Aku berhenti dan kamu tidak berhenti.”
Angulimala rupanya sangat terkesan dengan syair yang diucapkan Sang Buddha. Ia membuang pedangnya dan berlutut di hadapan Sang Buddha.
Sang Buddha memberi berkah dan kemudian mengajaknya pergi ke vihara. Di vihara ia ditahbiskan menjadi bhikkhu. Ibu Angulimala yang menyaksikan seluruh peristiwa ini dari dekat, merasa kagum sekali kepada Sang Buddha, yang dalam waktu demikian singkat dapat menaklukkan Angulimala dan mengubahnya menjadi orang yang baik.
Raja Kosala, sebelum memasuki hutan untuk menangkap Angulimala, terlebih dulu datang mengunjungi Sang Buddha untuk mohon restu Beliau. Ia datang berkunjung dengan membawa lima ratus orang prajurit berkuda.
Sang Buddha bertanya, “Oh, Baginda Yang Agung, apakah Baginda mendapat kesukaran? Apakah Raja Bimbisara menyatakan perang kepada Anda atau Pangeran dari Licchavi atau mungkin dari kerajaaan lain?”
“Bukan, Yang Mulia. Ada seorang penyamun yang ganas sekali di kerajaanku. Namanya Angulimala. Aku hendak pergi menangkapnya,” jawab Raja Kosala.
Sang Buddha lalu berkata, “Oh, Baginda Yang Agung. Umpamanya Baginda melihat Angulimala sekarang sudah bercukur gundul, memakai jubah kuning, meninggalkan kehidupan sebagai seorang penyamun dan berhenti membunuh, apakah yang Baginda akan lakukan?”
Raja Kosala menjawab, “Kalau demikian halnya, aku akan berlutut di hadapannya.”
Kemudian Sang Buddha memanggil Angulimala untuk keluar. Ketika Angulimala memasuki ruangan, semua prajurit raja melarikan diri, tetapi dicegah oleh Sang Buddha. Setelah itu Sang Buddha memberikan khotbah Dhamma.
Suatu hari ketika sedang mengumpulkan makanan, Angulimala diserang oleh orang-orang yang sedang berkelahi. Sang Buddha kemudian memberitahukan Angulimala agar jangan mempunyai rasa dendam dan harus menganggap kejadian ini sebagai hukuman atas kejahatan yang pernah ia lakukan. Setelah berlatih dengan tekun, Angulimala kemudian mencapai tingkat Arahat.
Dikisahkan sewaktu Angulimala sudah mencapai tingkat Arahat, ia mendengar seorang wanita sedang merintih-rintih kesakitan waktu hendak bersalin. Hal ini menggugah hatinya, sehingga ia berkeinginan menolong wanita tersebut. Sewaktu ia menceritakan peristiwa tersebut kepada Sang Buddha dan menanyakan cara untuk menolong penderitaan tersebut, Sang Buddha memberinya petunjuk untuk memberi wanita itu air, setelah terlebih dahulu dibacakan kalimat-kaimat. :
“Yatoham bhagini ariyaya,
Jatiya jato
Nabhijanami sancicca
Panam jivita voropeta
Tena saccena sotthi te
Hotu sotthi gabbhassa.”
Yang berarti :
“Saudari, sejak dilahirkan sebagai seorang Ariya
Aku tidak ingat dengan sengaja
Membunuh suatu makhluk hidup
Dengan pernyataan yang benar ini, semoga Anda
Dan bayi dalam kandungan selamat.”
Dan benar saja, setelah diberi air tersebut, wanita itu segera bersalin dengan selamat. Sampai hari ini kalimat-kalimat tersebut dikenal sebagai Angulimala-sutta dan dipakai untuk membuat air guna memudahkan persalinan.
Penaklukan Angulimala sering kali dicatat sebagai satu dari sekian banyak perbuatan Sang Buddha yang menolong manusia karena rasa belas kasih yang sangat besar terhadap umat manusia.
Kisah ini pun dapat dipakai sebagai contoh untuk membuktikan bahwa kamma (perbuatan) baik yang orang lakukan dapat memusnahkan kamma buruk yang pernah ia lakukan. Demikianlah kisah mengenai Angulimala.